Sedangkan pada tahun 2015 ini, dari tujuh kasus yang dilaporkan ke polisi, tiga di antaranya menyasar anak-anak sebagai target penculikan.
"Paling banyak yakni motif ekonomi. Rata-rata mereka meminta tebusan," kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Mohammad Iqbal di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Rabu (22/7/2015).
Iqbal juga tak menampik ada motif lain, yakni berupa balas dendam. Namun, pada akhirnya para penculik meminta uang tebusan lagi sebagai syarat mengembalikan korban.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait menyebut selama enam bulan terakhir tahun 2015 setidaknya ada 40 laporan anak hilang kepada Komnas PA. Dari laporan tersebut, sekitar 28 persen kasus dapat terselesaikan.
"Ada empat tujuan besar, pertama adopsi ilegal, eksploitasi ekonomi biasanya dipekerjakan, eksploitasi seksual dan kemudian ada tebusan balas dendam ekonomi," kata Arist saat dihubungi, Selasa (21/7/2015).
Dari pengalaman yang dimiliki Arist, biasanya para penculik melakukan aksinya dalam satu jaringan. Mereka membentuk sindikat untuk melancarkan aksinya agar tersistematis dan rapi. "Termasuk kasus SE ini. Kan diduga lebih dari satu orang," kata Arist.
Cegah penculikan
Penculikan yang menimpa anak-anak tidak terjadi serta merta. Anak-anak tentu akan menangis atau menjerit jika diajak oleh orang tak dikenal.
"Minimal pernah berkomunikasi dengan korban dan berkenalan. Korban biasanya mengetahui dan tidak merasa curiga. Ada bujuk rayu di situ. Misal teman ayah atau ibu," kata Arist.
Untuk itu, Arist menyarankan agar masyarakat, khusunya orangtua untuk membenahi sistem pendidikan bagi anak-anak di dalam rumah. Salah satunya mengenai keberanian untuk mengatakan tidak pada ajakan seseorang tak dikenal.
"Berkaca dari kasus SE ini anak harus secara simulasi dan terus menerus untuk mengatakan tidak pada ajakan orang lain," kata Arist.
Anak dinilai tidak bisa disebut lalai. Melainkan orangtua yang harus bertanggungjawab atas anak-anaknya. "Tidak boleh lalai. Yang lalai itu bukan anaknya, tetapi orangtuanya. Anak tidak pernah lalai karena dia patut berharap dilindungi oleh orangtunya," kata Arist.
Selama ini pendidikan di dalam rumah hanya diajarkan larangan. Padahal ada kemampuan lain yang tak kalah mumpuni untuk kebaikan buah hati.
"Seharusnya kemampuan anak untuk membela dirinya. Seperti yang saya katakan tadi, berani katakan tidak," kata Arist.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.