KOMPAS.com — Hari raya Idul Adha dijadikan sebagai momen untuk berbagi kepada sesama, khususnya kepada mereka yang membutuhkan melalui ibadah kurban. Ini terbukti dari jumlah partisipasi kurban yang terus meningkat dari tahun ke tahun di hampir semua daerah di Indonesia.
Di Kota Padang, Sumatera Barat, misalnya. Jumlah hewan kurban mengalami peningkatan dari 7.197 ekor pada 2012 menjadi 8.095 ekor pada 2013.
Sementara itu, pada 2014, partisipasi warga dalam berkurban di Gorontalo, Sulawesi, naik secara signifikan. Jumlah hewan kurban jenis sapi dan kambing meningkat 30 persen dibanding tahun sebelumnya.
Pada tahun yang sama, kenaikan partisipasi kurban juga terjadi di wilayah Jawa Barat, terutama untuk jenis hewan kurban sapi. Jumlah kurban sapi naik hingga 44 persen. Artinya, partisipasi naik berkali lipat mengingat perhitungan seekor sapi sama dengan kurban untuk tujuh orang. Lalu, bagaimana dengan tahun ini?
Terlepas dari kenaikan harga sapi akhir-akhir ini, tren partisipasi kurban agaknya tak akan mengalami penurunan. Contoh saja di Riau. Menurut Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Riau Askardi Patrianov, permintaan pasokan hewan kurban sudah meningkat sebanyak 2.000 ekor dibandingkan tahun lalu.
Meskipun demikian, menurut Direktur Lazismu, Nanang Q El-Ghazal, peningkatan ini agaknya belum sejalan dengan pemerataan distribusi hasil kurban meskipun secara umum daging kurban telah disalurkan kepada penerima manfaat.
Namun, Nanang melihat, kebanyakan hewan kurban tersebut dikemas dan terkonsentrasi di wilayah tertentu. Padahal, prioritasnya, sasaran kurban adalah kaum duafa.
"Dari sisi permintaan, ada kenaikan tiap tahunnya dan ada hewan yang disembelih. Tapi, distribusi hewan kurban tersebut masih terkonsentrasi di kota-kota besar atau wilayah tertentu," tuturnya.
Menuju pelosok Indonesia
Akses menuju daerah tertinggal di pelosok Indonesia biasanya rusak atau belum memadai sehingga sulit dijangkau menggunakan moda transportasi biasa. Padahal, penduduk di sana kebanyakan adalah kaum duafa yang merupakan prioritas penerima jatah kurban.
"Padahal, penyaluran hewan kurban juga terkait dengan peta kemiskinan yang terus berubah secara geografis di Indonesia. Seperti daerah pedalaman, padat penduduk, kumuh, dan kantong-kantong kemiskinan misalnya," kata Nanang.
Berangkat dari semangat ini, ia bersama Lazismu membuat sebuah program bernama "Qurban Pak Kumis". Layanan ini dirancang mampu mengurus distribusi kurban ke daerah-daerah tersebut, termasuk lokasi yang mengalami bencana.
Selain alasan di atas, seperti yang diungkapkan Direktur Utama Lazismu M Khoirul Muttaqin, mereka yang berniat melakukan kurban juga banyak mengalami dilema.
"Melihat pengalaman lalu, mereka (partisipan kurban) bingung mau didistribusikan ke mana kurbannya, karena di kota-kota besar sudah menumpuk," ujar Khoirul.
Menggaet relawan dari komunitas
Dalam pelaksanaannya, yang berbeda dari Lazismu adalah keikutsertaan beragam komunitas untuk turun ke daerah-daerah pelosok sebagai relawan. Mereka biasanya berasal dari komunitas pelajar, mahasiswa, pemuda, komunitas hobi, profesional, bahkan kelompok pengajian.
Ternyata, komunitas-komunitas tersebut, terutama kelompok yang hobi offroad, lebih tertarik mencari lokasi sasaran yang menantang. Mereka menyebutnya sebagai kegiatan Adventure for Humanity. Bagi komunitas ini, kawasan pedalaman adalah destinasi yang pantas diceritakan sebagai pengalaman berharga.