KOMPAS - Tahun ini Kota Depok merayakan usia ke-16. Namun, sebenarnya, komunitas masyarakat Depok sudah berkembang lebih dari 300 tahun. Depok berkembang sejak tuan tanah asal Belanda, Cornelis Chastelein, menganugerahkan kebebasan kepada para budaknya.
Cornelis Chastelein lahir pada 10 Agustus 1657 di Rokin, Amsterdam, Belanda. Dia anak bungsu dari delapan bersaudara. Ayahnya, seorang Huguenot (Protestan) bernama Anthony (Chastelein 1613-1664), datang dari Perancis ke Belanda dan menjadi anggota Dewan Tujuh Belas (De Heeren Zeventien) dari VOC atau Serikat Badan Usaha Dagang Belanda di Asia. Ibunya, Maria Curdenier (1622-1660), putri dari Wali Kota Dordrecht.
Pada 24 Januari 1675, Cornelis yang berusia 17 tahun naik kapal cepat 't Huis van Kleef dari pelabuhan Texel. Setelah 204 hari pelayaran, kapal itu tiba di Batavia. Dia lalu bekerja sebagai pemegang tata buku VOC. Jenjang karier ayah dua anak itu naik cepat. Pada 1691 dia dipromosikan menjadi saudagar senior di Kastil Batavia.
Setelah karier cemerlangnya dan tidak lagi bekerja, Cornelis menunjukkan minat besar di bidang pertanian, budaya penduduk asli, pendidikan, dan keindahan alam. Dia juga sangat kritis terhadap kebijakan perdagangan VOC.
Dalam buku Jejak-jejak Masa Lalu Depok: Warisan Cornelis Chastelein (1657-1714) kepada Para Budaknya yang Dibebaskan karya Jan-Karel Kwisthout-diterjemahkan Pdt Hallie Jonathans dan Corry Longdong-dijelaskan, pada 30 November 1686, Cornelis menulis catatan berjudul "Mijne gedagten ende eensame bedenckingen over de saken van Nederlands India" (Pikiran dan pertimbanganku tentang Hindia Belanda).
Dalam tulisan itu dia berusaha melonggarkan politik perdagangan monopoli, mengembangkan pertanian sekaligus mengembangkan penduduk setempat. Dia membenci orang Eropa yang mengeksploitasi penduduk tanpa memperhatikan pembangunan berkesinambungan daerah koloni.
Selama 12 tahun (1691-1704) selanjutnya, Cornelis membeli tanah di sekitar Batavia, seperti di Srengseng (sekarang Lenteng Agung) dan Weltevreden (sekitar Gambir sampai Pasar Senen). Dia juga membeli tiga bidang tanah di sebelah barat Tjiliwoeng, yang disebut Depok, Mampang, dan Karang Anjer.
Di Weltevreden, Cornelis membangun penggilingan tebu dan percobaan penanaman kopi pertama di Batavia. Di Srengseng dan Depok, dia menanam lada, indigo, cokelat, jeruk mandarin, nangka, sirsak, belimbing, dan buah ara. Sampai kini, Depok dikenal sebagai penghasil belimbing yang besar dan manis. Buah ini pun jadi maskot Depok.
Depok asli
Di atas tanah milik Cornelis di Depok, sudah ada penduduk yang turun-temurun tinggal di sana dengan status menyewa. Mereka disebut orang Depok asal. Para budak yang didatangkan Cornelis dari luar Jawa disebut warga Depok asli. Cornelis membangun komunitas pertanian di lahan seluas 1.244 hektar.
Sebelum meninggal, Cornelis menulis surat wasiat yang isinya membebaskan dan mewariskan tanah pertanian kepada 150 budaknya. Sebagian besar budak itu berasal dari Bali, Benggala, Koromandel, dan Makassar. Tanah diberikan kepada mereka, tak peduli Kristen atau Muslim.
Hingga saat ini, masih tersisa 12 nama keluarga dari keturunan budak Kristiani yang dimerdekakan, yaitu Bacas, Iskah, Jacob, Jonathans, Josef, Laurens, Leander, Loen, Samuel, Soedira, Tholense, dan Zadokh. Marga Zadokh punah, diduga karena tak punya keturunan laki-laki.
Orang Depok asli hidup dalam sistem pemerintahan otonom. Kehidupan mereka terisolasi dari dunia luar. Seiring perkembangan zaman, kemurnian komunitas Depok tidak bisa dipertahankan.
Ferdy Jonathans, pengurus Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein, mengatakan, kehidupan yang relatif tenang di Depok mulai terusik pada awal kemerdekaan RI. Saat itu, mereka menjadi korban gejolak politik yang disebut "Gedoran Depok". Orang-orang di sekitar Depok menjarah barang-barang dan menyiksa mantan budak Cornelis Chastelein. "Kami sempat akan dibakar karena dianggap pengikut Belanda," kata Ferdy.
Pada 4 Agustus 1952, Depok sebagai komunitas yang berdiri sendiri resmi dihapus oleh Pemerintah Indonesia. Pemerintah mengambil sawah-sawah, padang rumput, hutan, dan beberapa bidang lahan lain. Beberapa bidang lahan, seperti gereja Protestan, pastori, pemakaman, sekolah, dan lapangan sepak bola, dikembalikan kepada komunitas Depok. Sekarang, Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein mengelola sisa-sisa tanah Depok, mengurus pendidikan, merawat orang miskin, dan merawat kepercayaan Kristiani untuk komunitas Depok.