KOMPAS.com - Ibu-ibu bercengkerama di teras rumah, Selasa (5/4) siang. Angin dari laut di depan rumah mereka berembus pelan.
"Kalau anginnya kencang, debu pulau itu sampai ke rumah," ucap Tumin (42), menunjuk sebuah pulau yang berjarak sekitar 200 meter dari pesisir.
Ayah dua anak ini adalah warga RT 005 RW 004, Kamal Muara, Penjaringan, Jakarta Utara.
Aktivitas di pulau itu sangat sibuk. Truk hilir mudik membawa muatan material. Ekskavator terus memutar belalainya mengambil pasir.
Beberapa pekerja beraktivitas di bangunan yang berderet rapi di tengah pulau. Padahal, sejak tujuh bulan lalu, Pemprov DKI telah melayangkan surat perintah bongkar karena bangunan itu tidak memiliki izin mendirikan bangunan.
Warga lainnya, Sagir (48), menyampaikan, aktivitas di pulau reklamasi yang berlangsung 24 jam menyiksa mereka.
"Belum lumpur yang bikin ikan, udang, dan kerang hilang. Pendapatan nelayan semakin turun," katanya.
Apa yang dialami warga Kamal Muara juga dirasakan warga Muara Angke. Sebagian besar dari mereka sangat anti reklamasi.
Saat sosialisasi Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantura Jakarta bulan lalu, misalnya, beberapa warga emosi saat kata reklamasi diucapkan perwakilan pemerintah.
Raperda ini kini menyeret sejumlah orang dalam kasus korupsi, terkait dugaan jual-beli pasal.
Menjaring konsumen
Selasa sore, suasana salah satu gerai di Mal Baywalk cukup ramai. Sebuah maket pulau berukuran sekitar 3 meter x 5 meter penuh bangunan di depan gerai menarik minat pengunjung.
Beberapa pengunjung singgah melihat maket itu lalu mengobrol dengan pegawai pemasaran bersetelan necis, berjas.
Karyawan ini sangat ramah, tetapi dengan cepat melarang saat maket itu akan difoto.
Corporate Secretary Agung Podomoro Land Justini Omar menuturkan, maket itu hanya sebagai contoh untuk memberi bayangan kepada pelanggan loyal perusahaannya.