Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Balada "Manusia Perahu" Pasar Ikan

Kompas.com - 15/04/2016, 10:40 WIB

KOMPAS.com — Sudah sekitar tiga hari Siska bersama keluarganya hidup di dalam perahu.

Rumah kontrakannya rata dengan tanah digilas mesin-mesin raksasa penghancur bangunan.
Tidak ada yang bisa dilakukan Siska, kecuali bertahan dan menjadi "manusia perahu".

Pemprov DKI sebelumnya melakukan penertiban dan membongkar rumah-rumah yang tak memiliki surat resmi di kawasan Luar Batang, Jakarta Utara.

Siska sudah beberapa kali diusir, dan banyak petugas yang meminta perahu milik suaminya disingkirkan. Bukannya tidak mau pindah ke Rusun Cilincing dan Kali Adem. Namun, ia menilai, kawasan tersebut tidak layak.

"Tadi ada yang datang, minta perahu kami disingkirkan, bahkan disuruh ke Cilincing. Kami dibilang nyampah di sini. Situ yang bongkar, yang bikin limbah. Kami udah susah dan bukan sampah, sudah tinggal di perahu, masih mau diusir juga," ujar Siska.

Nasib yang sama juga dialami Husein. Ia bahkan harus berjejalan di dalam perahu bersama sembilan saudara kandung dan orangtuanya. Ia bingung harus bagaimana lagi mencari tempat tinggal. Hanya perahu yang dianggapnya tepat jadi tempat berteduh atau sekadar bercengkrama dengan anggota keluarga lainnya.

Siang itu, saat ditemui, terik panas matahari memang begitu menyengat. Husein, yang biasanya melaut, kini tidak bisa melakukan hal itu. Kapalnya dijadikan tempat tinggal. Beberapa kali, Husein mencari tempat berteduh bersama anggota keluarga lainnya karena kepanasan.

Sembari berteduh, Husein mengais puing-puing dan besi yang sekiranya bisa ia tukar dengan uang untuk makan sehari-hari. Husein merupakan anak keempat dari 10 bersaudara. Adik-adiknya yang masih kecil dan bersekolah juga masih belum diurus secara administrasi.

"Adik-adik saya sekolah ada yang di Luar Batang, ada yang di Pinangsia, Kota. Bagaimana kalau kami disuruh pindah lagi, nanti kejauhan aksesnya. Biayanya lebih besar lagi," ujarnya.

Untuk urusan buang hajat, Husein melanjutkan, ia memanfaatkan sisa-sisa bangunan, seperti kayu dan seng, untuk membuat toilet darurat.

"Ada WC di bangunan yang dirobohkan, sudah tidak ada temboknya, atasnya ditutup seng. Kalau saya, gampang. Yang susah kalau perempuan. Makanya saya buat begitu," katanya.

Kalau untuk persediaan air bersih, Husein dan keluarga besarnya membeli air seharga Rp 1.000 untuk satu jeriken. Air dimanfaatkan untuk mandi, mencuci, dan urusan kakus.

Lain lagi dengan Sri, salah satu warga RT 12 Pasar Ikan Penjaringan, Jakarta Utara. Ia mengeluhkan sekolah anaknya yang jauh dari Rusun Rawa Bebek.

Sri pun memilih kembali ke tempat tinggalnya yang lama. Ibu lima anak ini mengatakan, banyak kerugian yang ia dapat setelah penggusuran Pasar Ikan Penjaringan.

"Anak saya sudah SMP, sekolah di Luar Batang, butuh dua jam lho berangkat sekolah ke sini," ujar Sri saat ditemui di kawasan Luar Batang.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pemprov DKI Bakal Bangun 2 SPKL Tahun Ini, Salah Satunya di Balai Kota

Pemprov DKI Bakal Bangun 2 SPKL Tahun Ini, Salah Satunya di Balai Kota

Megapolitan
Pedagang Pigura di Bekasi Bakal Jual 1.000 Pasang Foto Prabowo-Gibran

Pedagang Pigura di Bekasi Bakal Jual 1.000 Pasang Foto Prabowo-Gibran

Megapolitan
Ketika Pemprov DKI Seolah Tak Percaya Ada Perkampungan Kumuh Dekat Istana Negara...

Ketika Pemprov DKI Seolah Tak Percaya Ada Perkampungan Kumuh Dekat Istana Negara...

Megapolitan
Pedagang Pigura di Bekasi Patok Harga Foto Prabowo-Gibran mulai Rp 150.000

Pedagang Pigura di Bekasi Patok Harga Foto Prabowo-Gibran mulai Rp 150.000

Megapolitan
Upaya PKS Lanjutkan Hegemoni Kemenangan 5 Periode Berturut-turut pada Pilkada Depok

Upaya PKS Lanjutkan Hegemoni Kemenangan 5 Periode Berturut-turut pada Pilkada Depok

Megapolitan
PKS Bakal Gaet Suara Anak Muda untuk Bisa Menang Lagi pada Pilkada Depok 2024

PKS Bakal Gaet Suara Anak Muda untuk Bisa Menang Lagi pada Pilkada Depok 2024

Megapolitan
Golkar: Elektabilitas Bukan Jadi Indikator Utama untuk Pilih Cagub DKI

Golkar: Elektabilitas Bukan Jadi Indikator Utama untuk Pilih Cagub DKI

Megapolitan
Polisi Periksa 13 Saksi dalam Kasus Anggota Polisi yang Tembak Kepalanya Sendiri

Polisi Periksa 13 Saksi dalam Kasus Anggota Polisi yang Tembak Kepalanya Sendiri

Megapolitan
Nestapa Agus, Tak Dapat Bantuan Pemerintah dan Hanya Andalkan Uang Rp 100.000 untuk Hidup Sebulan

Nestapa Agus, Tak Dapat Bantuan Pemerintah dan Hanya Andalkan Uang Rp 100.000 untuk Hidup Sebulan

Megapolitan
Ogah Bayar Rp 5.000, Preman di Jatinegara Rusak Gerobak Tukang Bubur

Ogah Bayar Rp 5.000, Preman di Jatinegara Rusak Gerobak Tukang Bubur

Megapolitan
Kapolres Jaksel: Brigadir RAT Diduga Bunuh Diri karena Ada Masalah Pribadi

Kapolres Jaksel: Brigadir RAT Diduga Bunuh Diri karena Ada Masalah Pribadi

Megapolitan
Polisi: Mobil Alphard yang Digunakan Brigadir RAT Saat Bunuh Diri Milik Kerabatnya

Polisi: Mobil Alphard yang Digunakan Brigadir RAT Saat Bunuh Diri Milik Kerabatnya

Megapolitan
Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Sabtu 27 April 2024, dan Besok: Siang ini Hujan Ringan

Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Sabtu 27 April 2024, dan Besok: Siang ini Hujan Ringan

Megapolitan
[POPULER JABODETABEK] Warga yang 'Numpang' KTP Jakarta Protes NIK-nya Dinonaktifkan | Polisi Sita Senpi dan Alat Seks dari Pria yang Cekoki Remaja hingga Tewas

[POPULER JABODETABEK] Warga yang "Numpang" KTP Jakarta Protes NIK-nya Dinonaktifkan | Polisi Sita Senpi dan Alat Seks dari Pria yang Cekoki Remaja hingga Tewas

Megapolitan
Harga Bawang Merah Melonjak, Pemprov DKI Bakal Gelar Pangan Murah

Harga Bawang Merah Melonjak, Pemprov DKI Bakal Gelar Pangan Murah

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com