JAKARTA, KOMPAS.com--Wanita juga bisa total berkesenian, meski juga tetap memiliki fungsi sebagai ibu rumah tangga, bahkan juga bekerja di bidang lainnya. Selama ada kemauan, passion, semangat, kehendak untuk berekspresi, dan geliat fisik dan jiwa, karya-karya akan terlahir.
Itu salah satu pesan yang disampaikan tiga perupa wanita dari berbagai daerah, Mola (Bandung), Maria Tiwi (Tangerang), dan Pini Fe (Jambi). Berawal dari kesamaan persepsi dan kamauan, serta geliat yang sama, mereka akhirnya mencoba mempertemukan karya-karya lukisan mereka dalam pameran bertajuk Geliat di Balai Budaya Jakarta, mulai 24 sampai 30 Juli 2016.
Tema Geliat sengaja diambil untuk menekankan gerak fisik dan jiwa untuk terus berkreasi, apa pun keadaannya. Paradigma bahwa wanita yang juga sebagai ibu rumah tangga, apalagi juga bekerja di bidang lain, sulit menyempatkan diri berkreasi dan berekspresi, mereka dobrak dengan bukti karya demi karya yang lahir dari mereka secara produktif.
Kesenian, dalam hal ini seni lukis, menjadi medium yang mereka anggap bagian dari jiwa mereka untuk mengekspresikan diri. Bahkan, Pini Fe mengaku, "Seni lukis sudah seperti cloning dari diri saya. Saya tak bisa lepas. Karena, lewat lukisan saya bisa menumpahkan segala kehendak, perasaan, kemauan, dan cita-cita."
Mereka ingin memotivasi wanita lain untuk tak segan berkreasi dan berekspresi. Apalagi, pelukis wanita juga tidak terlalu banyak. Mungkin, keinginan untuk melukis ada, tapi selalu terbentur norma dan paradigma lama. Atau, paling sering terhambat persepsi bahwa sebagai wanita akan kesulitan berekspresi dalam dunia lukis, apalagi jika sudah menjadi ibu rumah tangga.
Mereka juga berharap geliat pelukis wanita lebih besar lagi. Sehingga, jagat seni juga semakin diwarnai oleh sentuhan dan kreasi wanita.
"Sebab itu, dalam pameran ini kami ambil tema 'Geliat'. Sebuah ungkapan yang berenergikan geliat. Kami sebagai wanita ingin terus bergerak dan bergerak dalam karya, sekaligus memotivasi wanita lain," kata Maria Tiwi.
Selain itu, mereka juga ingin berkontribusi ke dalam kehidupan lebih luas lagi. Lewat karya seni lukis, mereka berharap akan ada manfaat bagi kehidupan.
"Seni adalah bagian dari hidup saya. Sebuah karya yang diciptakan dengan jujur dan suka cita akan berdampak besar dalam kehidupan diri kita, memotivasi, menemukan jati diri, menjadi terapi jiwa, menghibur dan memberi manfaat bagi orang lain," jelas Mola.
Mereka telah membuktikan diri memiliki geliat yang begitu dinamis. Meski semuanya juga ibu rumah tangga dan bekerja di bidang lain, tapi mereka tetap bisa bergerak dengan waktu yang ada untuk berkarya dalam seni lukis secara maksimal. Bahkan, mereka tergolong produktif melahirkan karya lukis dengan keriangan dan suka citanya.
BEDA GAYA
Hal lain yang menarik dalam pameran ini, ketiga perupa ini memiliki gaya dan aliran berbeda. Namun, semangat dan kejujuran berkarya mereka sama.
Maria Tiwi lebih nyaman melukis dengan gaya figuratif. Sedangkan Mola lebih bergaya ekspresif. Keduanya sama-sama sering memakai model wanita untuk mengekspresikan persepsi, opini, perasaan, dan ungkapan mereka.
Sedangkan Pini Fe lebih suka bergaya abstrak. Meski mampu melukis dalam gaya lainnya, Pini Fe merasa cocok dan puas mengungkapkan isi hatinya lewat lukisan abstrak.
Ada tema sosial, misalnya Crowd City karya Mola, ada juga tema-tema motivasi, maupun ledakan emosi dan perasaan sang perupa. Semua itu tertuang dalam karya lukis yang lepas dan itu menjadi kekuatan mereka.
Sehingga, gedung Balai Budaya Jakarta yang terkesan tua dan renta, tetap menjadi indah dan bergairah dengan kehadiran karya-karya mereka. Geliat estetika Mola, Maria Tiwi, dan Pini Fe seolah menghadirkan energi hingga gedung tua itu terasa penuh nuansa. (Hery Gaos)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.