JAKARTA, KOMPAS.com - Sekitar enam bulan sebelum dilantik jadi Presiden RI, Joko Widodo atau Jokowi yang kala itu masih sebagai gubernur DKI Jakarta menyambangi Rumah Susun Marunda di Jakarta Utara.
Saat itu, 11 April 2014, Jokowi meresmikan sebuah greenhouse atau rumah kaca yang disebut didirikan dengan menggunakan dana pribadi mantan wali kota Solo tersebut.
Greenhouse yang terletak di halaman Rusun Marunda Blok A itu seakan menjadi pelecut bagi warga rusun untuk bertani. Sejak itu, Rusun Marunda dikenal sebagai salah satu dari sedikit rusun yang mempunyai lahan pertanian.
Kelompok Tani Rusun Marunda yang mengelola greenhouse pun kecipratan untung dari kegiatan bertani. Pada 2014, mereka dapat meraup uang hingga belasan juta tiap bulan dari hasil pertanian organik yang dikembangkan di dalam greenhouse.
Baca juga : Greenhouse Marunda yang Diresmikan Jokowi, Hidup Segan Mati Tak Mau
Hampir empat tahun berselang, greenhouse itu tak lagi jadi simbol suksesnya pertanian di Rusun Marunda. Sebaliknya, bangunan berukuran 14 x 60 meter itu kini jadi simbol lesunya kegiatan pertanian di sana.
Tak Terurus
Senin (26/3/2018) kemarin, Kompas.com mengunjungi Rusun Marunda untuk melihat greenhouse senilai Rp 450 juta tersebut. Kondisi greenhouse itu seolah hidup segan mati tak mau.
Jaring-jaring tipis yang meyelimuti greenhouse tampak sobek di beberapa bagian. Rerumputan liar tumbuh hingga setinggi pinggang orang dewasa di dalam greenhouse.
Deretan pipa paralon tempat tumbuhnya tanaman hidroponik terlihat kosong. Sejumlah peralatan pertanian juga tampak bertumpuk di salah satu sudut ruangan, seakan telah ditinggalkan pemiliknya.
Ernov, petani yang ditemui Kompas.com menuturkan, greenhouse itu sudah tak digunakan sejak Desember 2017.
"Dari 2017 akhir sudah enggak dipakai lagi karena bolong-bolong gitu. Kalau bolong-bolong kan serangga hama bisa masuk," kata dia.
Kepala Unit Pengelola Rumah Susun (UPRS) Marunda Yasin Pasaribu mengatakan, bangunan itu memang sudah mulai ditinggalkan para penggunanya. Faktor ekonomi menjadi alasan utamanya.
Yasin menuturkan, sayur-sayuran dan tumbuhan hidroponik yang dikembangakan di greenhouse tersebut rupanya sulit bersaing si pasaran. Pasalnya, harga yang dipatok terlalu tinggi.
Selain itu, tanaman-tanaman yang ditanam secara hidroponik di sana tidak sesuai dengan kebutuhan warga sekitar. Sebut saja pokcay atau caisim yang namanya saja mungkin asing di telinga para penghuni rusun.
Kini, para petani memilih menanam tanaman yang lebih "dekat" dengan kebutuhan masyarakat seperti tomat, cabai, dan terong. Penjualannya pun terbatas pada warga sekitar.