Media Harus lebih selektif
Media sosial saat ini telah menjadikan setiap orang adalah redaksi, mereka membuat berita tanpa kantor dan editor. Atas dasar itu sangat mungkin kita menemukan pesan yang tidak sempurna dan terdistorsi.
Ironisnya dalam beberapa kesempatan kita menemukan jurnalis dan media menjadikan media sosial sebagai rujukan dalam mengambil sumber berita. Karena dianggap menghadirkan nilai berita (news value). Membuat berita atas apa yang ramai dan riuh di medsos, bukan sekadar apa yang ada di dunia realitas.
Mereka seakan lupa untuk menangkap kegelisahan langsung dari sumber berita asli. Senang menjadi pemantul medsos, terlebih dalam situasi yang agak memprihatinkan proses pembuatan berita merujuk dari akun-akun anonim.
Diedit seperlunya dan menjadi agen multiplier effect atas informasi itu. Terlebih jika pesan kegelisahan itu dipantulkan oleh selebtwitt atau gate keepers yang memilki followers maupun engagement yang banyak.
Tentu saja perilaku itu tidak menjadi gambaran umum kinerja jurnalis, tapi tidak dapat dipungkiri kini sudah mulai marak dan menggejala pola kerja jurnalistik model seperti itu. Padahal kerja-kerja jurnalistik harus ditegakan dalam trahnya dengan memantik sumber berita dari 'sumur' informasi yang tepat.
Adaptif medsos dan responsif kanal
Medsos harus tetap menjaga ruang kritis warga, namun di sisi lain juga jangan sekadar menjadikannya satu-satunya kanal untuk menyampaikan kegelisahan. Gubernur harus hidupkan ruang nyata, sebagaimana ruang virtual.
Agar publik punya pilihan yang variatif dalam menyampaikan masukan. Justru sudah sepantasnya bagi gubernur, perkembangan isu medsos menjadi alat deteksi dini dalam mengukur kinerjanya.
Sebelum kita mengambil prasangka buruk, bisa jadi itu merupakan bentuk keputusasaan warga atas mandeknya kanal yang ada.
Ruang balai kota harus tetap terbuka untuk aspirasi dengan prosedur yang tetap tertib, sejalan dengan itu hierarkis di bawahnya punya standard operational procedure (SOP) yang serupa. Ibaratnya menyampaikan masukan ke gubernur sama mudahnya dengan ke wali kota, camat, dan lurah.
Mau tidak mau game has been changing dengan adanya medsos, maka bukan hal yang tabu bagi gubernur beserta jajarannya untuk beradaptasi dengan langgam baru tersebut. Tapi juga jangan latah dan kelewat "alay" tenggelam dalam riuh rendah medsos.
Gubernur dapat menjadikan medsos sebagai salah satu tools menerima masukan dan saran. Jika memang itu baik dan sesuai dengan sasaran sebuah kota, maka sudah sepantasnya seorang kepala daerah untuk tidak alergi menganulir dan memperbaiki kebijakannya.
Jika benar masukan warga maka layak diikuti, pun jika salah dapat dikoreksi. Hukum yang sama berlaku kepada warganet, mereka harus fair play jika memang pada akhirnya ada perbaikan.
Benci dan suka ada kadarnya, benar dan salah ada pijakan argumentasinya. Bukan sekadar sikap psikologis like and dislike.
Gubernur juga dapat menjadikan medsos sebagai salah satu perangkat deteksi dan monitoring isu. Menangkap perbincangan virtual warga untuk dijadikan pijakan perbaikan kebijakan maupun program.
Dus, bisa jadi ada banyak masukan yang baik dan bermakna. Tetap membuka diri dan berpikir positif dalam memandang masukan akan sangat menentukan kapasitas dan kualitas informasi yang kita terima. Sehingga pada akhirnya terbiasa memilah dan memilih yang baik secara proporsional.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.