JAKARTA, KOMPAS.com - Upaya diversi lima anak di bawah umur yang ditangkap saat kerusuhan 22 Mei lalu dinyatakan gagal.
Diversi, berdasarkan Pasal 1 angka 7 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Makmur, Selasa (6/8/2019) mengatakan, kegagaln upaya diversi itu terjadi karena tidak adanya kesepakatan antara dua pihak, yaitu korban (polisi) dengan pelaku (anak-anak yang tertangkap 22 Mei).
Baca juga: PN Jakarta Pusat Gelar Sidang Diversi 10 Anak yang Ditangkap Saat Kerusuhan 22 Mei
Sebab pihak, yaitu korban (polisi) tidak datang saat sidang diversi pada Senin kemarin di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Itu salah satu kendala karena pihak korban masih ada di luar DKI Jakarta, jadi masih proses mendatangkan untuk segera sampai. Kalau yang bersangkatan sampai di wilayah Jakarta Pusat tidak tertutup kemungkinan semuanya akan tercapai diversi," kata Makmur.
Karena permohonan diversi gagal, kasus anak-anak itu akan dilanjutkan ke persidangan. Walau proses persidangan akan berlanjut, Makmur mengatakan bahwa tidak tertutup kemungkinan kasus tersebut akan berakhir diversi.
Hal itu merujuk pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA . Jadi dalam perkara anak diutamakan untuk upaya diversi.
"Jadi ini harus dilanjutkan ke persidangan putusan hukum pidana. Namun, apabila ada kesepakatan diversi meski beberapa menit sebelum hakim mengucapkan putusan, maka pembacaan putusannya itu bisa dihentikan," kata dia.
Sebelumnya, hakim di PN Jakarta Pusat mengabulkan permohonan diversi lima dari 10 anak yang ditangkap saat kerusuhan 22 Mei. Hal itu diungkapkan Gita Aulia dari LBH Paham (Pusat Advokasi dan HAM) selaku kuasa hukum lima dari 10 anak yang ditangkap itu, seusai sidang.
Baca juga: Hakim Terima Permohonan Diversi 5 dari 10 Anak yang Ditangkap Saat Kerusuhan 22 Mei
Ia mengatakan, ada sejumlah pertimbangan hakim dalam mengabulkan permintaan diversi lima anak tersebut.
Pertama, lima anak tersebut masih di bawah umur dan harusnya kasus hukumnya diselesaikan di luar peradilan pidana.
"Kemudian kedua ancaman hukuman bagi adik-adik ini di bawah tujuh tahun jadi mereka diwajibkan untuk diversi," ucap Gita.
Ketiga, Indonesia sedang membangun sistem pidana yang restorative justice. Pendekatan restorative justice lebih menitikberatkan kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.