JAKARTA, KOMPAS.com - Jatinegara menyimpan banyak riwayat dan kisah. Kawasan yang menjadi salah satu jantung perekonomian warga Jakarta Timur ini tak luput dari coretan tinta sejarah.
Itu terlihat dari beberapa bangunan khas Belanda yang masih berdiri kokoh melawan zaman hingga saat ini.
Sejarah Jatinegara bermula dari sosok seorang yang lahir di Lontar, Pulau Belanda, Maluku bernama Meester Cornelis Senen. Dia adalah seorang yang sangat dihormati pada abad ke-17. Kala itu, Senen membuka beberapa sekolah dan juga sebagai guru agama Kristen.
Meester Cornelis Senen juga diberi hak oleh VOC untuk mengelola tanah di Jatinegara. Hal tersebut seperti tertulis dalam buku yang berjudul "Waktu Belanda Mabuk, Lahirlah Batavia" yang ditulis Alwi Shahab.
Baca juga: Kisah Perjuangan dari Bekasi, Tanah Patriot dan Para Jawara yang Sulit Ditaklukkan Belanda
Awalnya, kawasan yang saat itu diberi nama "Meester Cornelis" hanya berupa hutan. Pelan-pelan kawasan ini bergerak menjadi pusat perekonomian yang mumpuni.
"Kawasan hutan ini cukup cepat berkembang. Padahal ketika itu letaknya jauh dari pusat kota di Pasar Ikan," tulis buku tersebut di halaman 90.
Bangunan-bangunan mulai dibangun. Salah satu bangunan yang masih berdiri sampai saat ini yakni Gereja GPIB Koinonia yang letaknya tak jauh dari Pasar Jatinegara.
Toko kelontong bergaya Cina di Pasar Jatinegara Lama juga mulai terbangun.
Baca juga: Gelora dari Rengasdengklok, Amarah Bung Karno dan Desakan untuk Merdeka
Pembangunan transportasi mulai muncul di kawasan tersebut. Contohnya, jalur kereta sepanjang 15 kilometer yang menghubungkan dengan Pasar Ikan Kota Tua.
Jalan setapak pun mulai dibangun untuk warga.
"Masyarakat dengan santai dan leluasa melewati jalan raya baik pejalan kaki, pengendara sepeda maupun kendaraan bermotor yang jumlahnya masih sedikit," tulis buku tersebut.
Sangking majunya, beberapa kebijakan khusus sempat diberlakukan Cornelis di wilayah itu. Salah satunya mewajibkan warga yang berjalan kaki saat malam hari untuk menyalakan obor.
Hal tersebut dikarenakan sempat terjadi peristiwa salah tembak yang dilakukan petugas polisi saat itu. Kala itu, polisi memerintahkan salah satu warga untuk berhenti karena diduga melakukan perampokan. Karena tidak mau berhenti dan lebih memilih lari, warga itu pun ditembak.
"Dia bukan penjahat. Dia ditembak karena tidak mau menuruti perintah polisi untuk dikejar. Dia mengira yang mengejarnya adalah orang jahat," ucap dia.
Namun setelah masuk ke masa kependudukan Jepang (1942), nama Meester Cornelis bergeser menjadi "Jatinegara" yang masih dipakai hingga saat ini.