TANGERANG SELATAN, KOMPAS.com - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Tangerang Selatan (Tangsel) mendesak agar Pemerintah Kota (Pemkot) tetap memperhatikan dan melindungi kesejahteraan kaum buruh.
Pernyataan tersebut disampaikan perwakilan buruh saat melakukan audiensi dengan Wali Kota Tangsel Airin Rachmi Diany terkait penolakan adanya Undang-Undang Cipta Kerja, Selasa (6/10/2020).
Ketua Dewan Perwakilan Daerah SPSI Tangsel Vanny Sompie mengatakan, dalam pertemuan tersebut terdapat enam orang perwakilan buruh yang hadir di Balai Kota Tangsel.
Baca juga: Serikat Pekerja Akan Ajukan Judicial Review UU Cipta Kerja
"Perwakilan Serikat meminta Pemerintah Daerah Tangsel melalui Wali Kota Tangsel agar tetap memerhatikan kesejahteraan pekerja atau buruh dan keluarganya," ujar kepada Kompas.com, Selasa.
Menurut Vanny, langkah itu perlu dilakukan Pemkot Tangsel karena Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan pada Senin (5/10/2020) kemarin, telah mengurangi hak dan kesejahteraan para buruh.
Sehingga, kondisi tersebut berpotensi memberikan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi di Tangsel, karena menurunnya daya beli masyarakat.
Baca juga: Menaker: Baca UU Cipta Kerja secara Utuh, Banyak Aspirasi Pekerja Diakomodasi
"Maka akan berpengaruh pada menurunnya daya beli masyarakat atau buruh yang berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi, termasuk di Tangsel," kata dia.
Sebelumnya, pengesahan UU Cipta Kerja menuai banyak sorotan dari publik. Regulasi tersebut dinilai merugikan pekerja.
Berikut sejumlah sorotan terkait Omnibus Law Cipta Kerja:
Salah satu poin yang ditolak serikat buruh adalah penghapusan upah minimum kota/kabupaten (UMK) dan diganti dengan upah minimum provinsi (UMP). Penghapusan itu dinilai membuat upah pekerja lebih rendah.
Padahal, dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan tak boleh ada pekerja yang mendapat upah di bawah upah minimum.
Baik UMP dan UMK, ditetapkan oleh gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi dan bupati/wali kota.
Penetapan UMK dan UMP didasarkan atas perhitungan Kebutuhan Layak Hidup atau KLH.
Dalam draf omnibus law Bab IV tentang Ketenagakerjaan Pasal 78 disebutkan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak empat jam dalam sehari dan 18 jam seminggu.
Ketentuan jam lembur itu lebih lama dibandingkan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, yang menyebut kerja lembur dalam satu hari maksimal 3 jam dan 14 jam dalam satu minggu.