Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

[EKSKLUSIF] Refleksi Setahun Covid-19 ala Pasien 02 Maria Darmaningsih: Antara Berkebun dan Merosotnya Kemanusiaan Kita

Kompas.com - 02/03/2021, 05:54 WIB
Vitorio Mantalean,
Nursita Sari

Tim Redaksi

DEPOK, KOMPAS.com – Seperti kebanyakan kita dulu, Maria Darmaningsih (64) juga tak pernah menyangka pandemi Covid-19 akan mengganas hingga saat ini.

Setahun lalu, ia dan putrinya, Sita Tyasutami, menjadi dua WNI pertama di Indonesia yang diumumkan terinfeksi Covid-19.

Sita disebut pasien 01, sedangkan Maria pasien 02. Beberapa bulan usai kesembuhannya, Maria mengira pandemi ini akan berlangsung singkat saja.

“Saya ingat banget, waktu itu bulan Mei, saya dapat WhatsApp bahwa ada perkiraan Agustus 2020 kemungkinan baru ditemukan vaksin. Aku bilang, masak sih sampai Agustus,” kata Maria melalui sambungan telepon, kemarin malam, Senin (1/3/2021).

“Tahu-tahu, Agustus lewat begitu saja. September juga kok terus saja. Enggak terbayang aku bahwa akan begini lama, sungguh,” lanjutnya.

Baca juga: Situasi Kontras Jakarta dan Wuhan 1 Tahun Setelah Kasus Covid-19 Pertama Dilaporkan

Kini Maria banyak berurusan dengan tanaman-tanaman di halamannya, suatu hobi yang sudah ia tekuni sejak tiga tahun silam, dan kian ia geluti di masa pandemi.

Berkebun yang menurutnya bukan sekadar menanam dan memetik hasilnya, melainkan juga sebentuk kasih sayang terhadap tanah, terhadap ibu bumi.

“Ibu bumi, mother earth itu, kan selalu caring (perhatian), memberi kasih sayang, dan itu mencerminkan Gusti Allah juga yang selalu memberi. Jadi saat kita memberikan ke tanah, kita mendapat berkah, dan lalu selalu berbagi sesama tetangga. Itu kebahagiaannya luar biasa,” ungkapnya.

Ketika berbincang dengan Kompas.com semalam, ia bicara banyak soal pandemi secara reflektif dari sudut pandang yang tak terduga: kebudayaan.

Latar belakang Maria sebagai penari kawakan barangkali dapat membantu kita memahami alasannya mengaitkan pandemi dengan kebudayaan kita.

Baca juga: Kilas Balik Kronologi Munculnya Kasus Pertama Covid-19 di Indonesia

Pandemi, dalam beberapa aspek, rupanya menelanjangi merosotnya kemanusiaan kita.

Wabah ini seakan memberi kesempatan untuk kita becermin bahwa sebagian dari kita mungkin sudah lupa, atau tercerabut, dari ajaran-ajaran arif leluhur soal kemanusiaan dan kepedulian yang semestinya kita gugu.

Di sela-sela obrolan, sesekali napasnya terengah. Ia mengakuinya sebagai efek kesehatan jangka panjang akibat Covid-19 (long Covid) yang dideritanya tepat setahun lalu.

Simak perbincangan Kompas.com dengan Maria Darmaningsih:

Bagaimana Anda mengingat pengalaman bersejarah itu—Anda dan putri jadi dua WNI pertama yang diumumkan positif Covid-19 di Indonesia?

Beda banget, dong, ya. Dulu kan heboh banget, kita semua enggak mengerti itu apa, dan itu luar biasa hebohnya.

Kami kan awalnya karena ngotot melapor, tapi saat melapor semuanya masih bingung menghadapi. Kami sebagai pasien tidak diberi tahu atau apa, tiba-tiba ada pengumuman.

Itu kan bikin heboh seluruh Indonesia. Jadi orang-orang yang satu kompleks dengan saya saat itu juga disuruh pulang, yang kerja dan sekolah dengan saya disuruh pulang dan enggak boleh kerja atau sekolah lagi.

Pengaruhnya terhadap yang satu kompleks itu luar biasa stigmanya.

Tahun lalu, apakah Anda pernah mengira bahwa setahun kemudian situasi pandemi akan sekompleks sekarang?

Enggak. Saya ingat banget, waktu itu bulan Mei, saya dapat WhatsApp bahwa ada perkiraan Agustus 2020 kemungkinan baru ditemukan. Aku bilang, masak sih sampai Agustus?

Jadi, dulu Anda membayangkan bahwa Agustus sudah tidak pandemi?

Iya, ha-ha-ha. Ah, enggak mungkin sampai Agustus, jangan gitu dong. Tahu-tahu, Agustus lewat begitu saja. September juga kok terus aja. Enggak terbayang aku bahwa akan begini lama, sungguh. Ya, luar biasa juga, sih.

Soal stigma, dulu Anda jadi korban. Sekarang, Anda merasa bahwa kita sudah bisa menerima bahwa Covid-19 bukan aib?

Saya masih baca di koran bahwa sekarang yang sakit (Covid-19) masih suka diam-diam karena banyak yang tidak membantu.

Itu menyedihkan buat saya karena seharusnya orang sudah belajar bahwa kita tuh bisa menangani dengan bersama-sama, kalau bisa saling bantu.

Saya tidak bisa mengerti bahwa kemanusiaan kita malah hilang dengan Covid-19.

Harusnya kan malah semakin tinggi tingkat kemanusiaannya. Saya pikir, apa ini pendidikan kita yang kurang atau apa? Belum lagi yang di-bully.

Saya kan belajar tradisi kita karena saya penari, saya belajar filosofinya. Sepertinya kan banyak hal-hal yang tinggi dalam filosofi kita, tapi kok ketika kena Covid-19... Apa, sih, yang salah, kok kita (pengidap Covid-19) jadi di-bully habis-habisan?

Memang apa, sih, yang bikin kita sakit? Memang kita yang minta? Saya enggak paham. Orang-orang yang sakit dan sampai tidak mau bilang ke tetangga karena nanti distigma, tidak dibantu, yang begitu-begitu enggak masuk di hati saya. Saya enggak ngerti sampai sekarang.

Kadang, aku pikir, aku konsentrasi saja dengan kehidupanku dan keluarga. Masih banyak, kok, yang sayang. Kalau enggak begitu, bisa gila, kalau ngikutin bully-bully-an.

Bagaimana seharusnya masing-masing kita menyikapi pandemi ini, menurut Anda?

Semuanya kan wallahu a’lam, ya, kita tidak bisa … Kita semua berusaha, tapi kan seharusnya, menurut saya, merefleksikan lagi kehidupan kita.

Mungkin bumi ini terlalu tercemar, kita selalu menggerogoti dan mengeksploitasi, yuk, kita berbuat baik untuk bumi.

Tanah juga merintih, yuk, kita berterima kasih kepada tanah dengan cara … Saya selalu ajari ART (asisten rumah tangga) saya, jika kita ambil pisang, pisangnya dimakan, kulitnya dibuang dan kembalikan ke tanah dengan cara, kalau kita enggak punya lahan, kita pisahkan, kita bikin kompos. Itu kan berbuat baik untuk bumi.

Itu refleksiku, sih, ya. Bukan menge-judge (menghakimi) semua orang. Ini kan kesempatan kita merefleksikan kehidupan kita sendiri, tidak perlu repot dengan di luar sana.

Saya enggak ngerti sih, dan saya memang tidak paham. Enggak ngerti. Aku benar-benar enggak ngerti, kenapa kita benar-benar menurun secara kemanusiaan.

Jadi, menurut Anda, Covid-19 ini menunjukkan kemunduran kita dalam berbudaya?

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Harga Bawang Merah Melonjak, Pemprov DKI Bakal Gelar Pangan Murah

Harga Bawang Merah Melonjak, Pemprov DKI Bakal Gelar Pangan Murah

Megapolitan
Pemprov DKI Diminta Lindungi Pengusaha Warung Madura Terkait Adanya Permintaan Pembatasan Jam Operasional

Pemprov DKI Diminta Lindungi Pengusaha Warung Madura Terkait Adanya Permintaan Pembatasan Jam Operasional

Megapolitan
Kronologi Brigadir RAT Bunuh Diri Pakai Pistol di Dalam Alphard

Kronologi Brigadir RAT Bunuh Diri Pakai Pistol di Dalam Alphard

Megapolitan
Polisi Pastikan Kasus Dugaan Pemerasan Firli Bahuri Masih Terus Berjalan

Polisi Pastikan Kasus Dugaan Pemerasan Firli Bahuri Masih Terus Berjalan

Megapolitan
Brigadir RAT Diduga Pakai Pistol HS-9 untuk Akhiri Hidupnya di Dalam Mobil

Brigadir RAT Diduga Pakai Pistol HS-9 untuk Akhiri Hidupnya di Dalam Mobil

Megapolitan
Korban: Guling yang Dicuri Maling Peninggalan Almarhum Ayah Saya

Korban: Guling yang Dicuri Maling Peninggalan Almarhum Ayah Saya

Megapolitan
Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Megapolitan
Khawatir Rumahnya Diambil Pemerintah, Banyak Warga Tanah Tinggi Tak Ikut Program 'Bebenah Kampung'

Khawatir Rumahnya Diambil Pemerintah, Banyak Warga Tanah Tinggi Tak Ikut Program "Bebenah Kampung"

Megapolitan
Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Pakai Senpi, Peluru Tembus dari Pelipis Kanan ke Kiri

Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Pakai Senpi, Peluru Tembus dari Pelipis Kanan ke Kiri

Megapolitan
Maling Guling Beraksi di Cinere, Korban: Lucu, Kenapa Enggak Sekalian Kasurnya!

Maling Guling Beraksi di Cinere, Korban: Lucu, Kenapa Enggak Sekalian Kasurnya!

Megapolitan
Kronologi Pengendara Moge Tewas Terlindas Truk Trailer di Plumpang

Kronologi Pengendara Moge Tewas Terlindas Truk Trailer di Plumpang

Megapolitan
Mayat Bayi di Tanah Abang, Diduga Dibuang Ayah Kandungnya

Mayat Bayi di Tanah Abang, Diduga Dibuang Ayah Kandungnya

Megapolitan
2 Pria Rampok Taksi 'Online' di Kembangan untuk Bayar Pinjol

2 Pria Rampok Taksi "Online" di Kembangan untuk Bayar Pinjol

Megapolitan
Heru Budi: Jakarta Bisa Benahi Tata Kota jika Pemerintahan Pindah ke IKN

Heru Budi: Jakarta Bisa Benahi Tata Kota jika Pemerintahan Pindah ke IKN

Megapolitan
Polda Metro Jadwalkan Pemeriksaan Pendeta Gilbert Lumoindong Terkait Dugaan Penistaan Agama

Polda Metro Jadwalkan Pemeriksaan Pendeta Gilbert Lumoindong Terkait Dugaan Penistaan Agama

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com