JAKARTA, KOMPAS.com - Epidemiolog Gilbert Simanjuntak mengkritisi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan jajarannya di Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI perihal kasus Covid-19 yang masih tinggi di Ibu Kota.
Tepat pada Selasa (2/3/2021), pandemi Covid-19 telah genap setahun di Indonesia sejak dua orang warga Depok, Jawa Barat, diumumkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai pasien pertama yang terpapar virus SARS-COV-2.
Setahun berlalu, kasus positif Covid-19 di Jakarta masih tinggi. Per Selasa kemarin, tercatat ada penambahan 578 kasus baru yang, dikonfirmasi pihak dinas kesehatan, belum dilaporkan semua.
Baca juga: Anggota DPRD DKI dan Keluarganya Jalani Vaksinasi Covid-19
Dengan penambahan tersebut, kasus Covid-19 di Jakarta secara total 342.371 kasus.
Tingginya kasus Covid-19 di Jakarta, menurut Gilbert, dikarenakan Anies selaku Gubernur DKI lebih sibuk berpolemik dengan pemerintah pusat.
"Lebih banyak berpolemik dengan pusat, sehingga energinya habis untuk hal ini dan untuk tampil di TV," kata Gilbert pada Rabu (3/3/2021), dilansir dari Tribun Jakarta.
Menurut mantan Wakil Ketua Ketua Regional South East Asia Regional Office International Agency for Prevention of Blindness WHO, Anies juga kerap pamer soal tingginya angka testing.
Padahal, lanjut Gilbert, kegiatan testing yang digencarkan Pemprov DKI sia-sia karena tidak ada tindak lanjut seperti melacak warga yang kontak erat dengan pasien Covid-19.
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu menguraikan, pelacakan Covid-19 itu idealnya 1 banding 33.
Dengan kata lain, setiap satu kasus Covid-19, maka ada 33 orang berkontak erat dengan pasien yang harus juga menjalani tes.
"Mengutamakan 3T, tetapi lebih dominan testing dan gembar gembor melebihi standar WHO. Padahal testing harus diikuti tracing dan testing juga banyak duplikasi data, karena tidak ada cleansing," ucap Gilbert.
"Orang yang sama bisa berkali-kali dites, artinya tracing rendah," tambahnya.
Selain itu, Gilbert juga mengkritisi Anies yang dianggapnya lemah dalam mengawasi protokol kesehatan.
Sehingga, lanjutnya, muncul banyak klaster pasar hingga perkantoran selama setahun Covid-19 merebak di khususnya Jakarta.
"Pengawasan yang tidak ketat dan banyak komunitas, seperti di pasar yang tidak taat protokol kesehatan, juga masyarakat yang kumpul-kumpul di lingkungan, pinggir jalan," kata Gilbert.
Baca juga: Pelayan Publik di Jakarta Barat Mulai Divaksinasi Covid-19 April