TANGERANG, KOMPAS.com - Sebanyak 23 pembeli rumah di Klaster Jasmine Residence 4, Pondok Kacang Barat, Pondok Aren, Tangerang Selatan (Tangsel), menjadi korban penipuan pengembang.
MS (42), salah satu korban, menceritakan dirinya membeli salah satu rumah di permukiman itu pada tahun 2018.
Rumah dibeli secara kontan dengan harga Rp 550 juta. Dia kemudian menandatangi perjanjian pengikatan jual beli (PPJB).
Pengembang berjanji bahwa rumah MS akan rampung dibangun dalam waktu satu tahun.
Menurut MS, pembeli lain membeli rumah dengan harga yang relatif sama, dengan rentang Rp 550 juta hingga Rp 600 juta.
Baca juga: 4 Sekolah di Tangsel Ditutup Karena Temuan Kasus Covid-19, Berikut Rinciannya...
"Harganya variasi sekitar Rp 550 juta-Rp 600 juta. Nah itu harusnya, dijanjikannya setahun pembangunan sudah jadi," ujarnya saat dihubungi, Selasa (1/2/2022).
Namun, setahun berselang, sebanyak 21 unit rumah di klaster itu tak kunjung rampung dibangun dan para pembeli menuntut kompensasi.
Menurut MS, pengembang tak mampu membayarkan kompensasi ataupun melanjutkan pembangunan klaster.
Hingga Desember 2020, pembangunan tak kunjung selesai.
Ada sebagian rumah yang baru rampung 20 persen, ada juga yang proses pembangunannya mencapai 90 persen.
Baca juga: Kasus Covid-19 Melonjak meski Capaian Vaksinasi Tinggi, Wali Kota Tangsel Ungkap Penyebabnya
"Pas Covid-19 pertengahan, developer semakin enggak bisa memenuhi janjinya. Kan kalau pembangunan terlambat dia harus bayar kompensasi, denda, itu dia semakin tidak bisa memenuhi denda itu. Alasan-alasan gitu," papar MS.
Di saat yang bersamaan, seorang pengembang bernama Samtari ternyata menggadaikan sertifikat tanah Klaster Jasmine Residence 4 kepada seorang penadah berinisial W.
Samtari menggadaikan sertifikat itu dengan harga Rp 700 juta.
Adapun klaster tersebut berdiri di atas tanah seluas 1.450 meter persegi.
Penggadaian sertifikat tersebut baru diketahui saat para pembeli melakukan mediasi dengan pengembang dan W pada tahun 2020.
Baca juga: Beda Nasib Tukang AC dengan Dino Patti Djalal dan Nirina Zubir dalam Kasus Mafia Tanah