JAKARTA, KOMPAS.com - Gereja Tugu yang terletak di Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara, merupakan peninggalan masyarakat Portugis di zaman kolonial Belanda yang hingga saat ini masih bertahan.
Jika dari Monumen Nasional (Monas) di Jakarta Pusat, maka jaraknya 15-18 kilometer dengan lama berkendara kira-kira 30 menit.
Jika dilihat dari sisi sejarah Gereja Tugu, gereja ini dibangun di Kawasan Kampung Tugu yang dulunya adalah daerah pembuangan tawanan Belanda, yakni masyarakat Portugis.
Terdapat sat satu komunitas masyarakat di area Gereja Tugu. Komunitas masyarakat ini adalah orang Tugu atau lebih dikenal sebagai orang Betawi Portugis.
Kepada Kompas.com, budayawan yang juga pemimpin kelompok musik Orkes Keroncong Cafrinho Tugu, Guido Quiko menuturkan, keberadaan komunitas orang Tugu tak lepas dari sejarah kota perdagangan di Malaka, Malaysia.
Baca juga: Gereja Tugu, Tempat Napak Tilas Portugis di Jakarta Utara
Sekitar periode tahun 1511-1641, Malaka berada di bawah kendali pasukan Portugis.
Lanjut Guido, tahun 1648, Belanda menguasai Malaka. Tentara Portugis yang berasal dari Goa, Bengal, Malabar, dan daerah-daerah jajahan lainnya dijadikan tawanan perang.
Mereka lalu dibawa ke Batavia untuk dijadikan pekerja atau serdadu VOC.
“Sekitar 800 orang itu dibawa oleh Belanda ke Batavia ini sebagai tawanan, masuk tahun 1661 itu orang-orang Portugis beragama Katolik yang ada di Batavia diminta untuk masuk Kristen Protestan," tutur Guido di sela-sela perayaan ulang tahun Gereja Tugu, Minggu (3/11/2019).
Guido menuturkan bahwa orang Betawi dulu kesulitan menyebut nama Portugis. Oleh karena itu, kemudian disebut dengan Tugu.
"Sejak saat itu di sini kami mengembangkan kebudayaan. Sejak awal hingga kini sudah berusia kurang lebih 350 tahun, kami beranak cucu di sini, untuk menjaga tradisi,” jelas Guido.
Baca juga: Berkunjung ke Gereja Berusia 271 Tahun di Jakarta Utara, Gereja Tugu
Gereja Tugu sendiri merupakan satu dari sedikit peninggalan Portugis yang masih tersisa di Kampung Tugu.
Gereja ini merupakan pemberian tuan tanah Belanda, Justinus van der Vinch, yang dibangun pada 1747. Vinch juga memberikan sebidang tanah untuk pemakaman.
Gereja Tugu (GPIB Tugu) yang ada sekarang adalah gereja ketiga. Gereja sebelumnya yang dari papan kayu dan bilik telah rusak.
”Gereja ketiga ini pernah nyaris musnah diamuk massa saat kami menjadi korban Gedoran Tugu,” kata Johan Sopaheluwakan, anggota Ikatan Keluarga Besar Tugu, Yayasan Calouste Gulbenkian (Fundação Calouste Gulbenkian).