JAKARTA, KOMPAS.com - Ada sebuah kenangan yang membekas di benak Sudarsono (53) saat ia pertama kali tiba di Jakarta.
Adapun Sudarsono merantau dari Kediri, Jawa Timur, ke Jakarta bersama temannya pada 1995.
"Kalau sekarang, Jakarta enggak kayak waktu saya pertama kali datang pas 1995. Masih banyak preman dulu, di mana-mana bakal dipalak," tutur dia di Terminal Pulogebang, Jakarta Timur, Jumat (28/4/2023).
Sebagai seorang perantau, Sudarsono kerap menjadi korban pemalakan.
Ia mengaku, hal ini karena ia kurang persiapan sebelum merantau ke Ibu Kota demi mencari peruntungan.
Namun, Sudarsono tidak tinggal diam dan kerap melawan setiap dipalak.
Sudarsono nekat merantau mencari peruntungan di Ibu Kota tanpa persiapan apa pun, termasuk keahlian atau pengalaman kerja.
Pada saat itu, hanya temannya saja yang sudah mempersiapkan diri.
Walhasil, ia bisa membuka warung tenda dan menjual nasi uduk di kawasan Jakarta Pusat.
"Saya dulu hanya bantuin aja, namanya masih nganggur belum dapat kerja. Bayarannya sesuap nasi dan tempat untuk tidur," ungkap Sudarsono.
Baca juga: Pendatang di Ibu Kota Akan Diwajibkan Punya Pekerjaan, Ini Alasannya...
Selama membantu temannya berdagang nasi uduk, Sudarsono tidak andil dalam kegiatan belanja bahan pangan.
Ia hanya ditugaskan untuk membantu melayani para konsumen membeli nasi uduk yang dahulu dibanderol seharga Rp 5.000 per bungkus.
Lokasi Sudarsono dan temannya berjualan nasi uduk berada di dekat sebuah diskotik.
Walhasil, berhadapan dengan beberapa pembeli yang berada dalam kondisi mabuk sudah menjadi hal yang biasa.
Namun, ada satu waktu ketika Sudarsono ditodong celurit oleh beberapa orang yang sedang bertengkar.
Baca juga: Saat Jakarta Terbuka bagi Pendatang Terampil, tetapi Tertutup bagi Pemulung...