JAKARTA, KOMPAS.com - Petugas Suku Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Jakarta Utara, Bahri (25), menceritakan kisah hidupnya selama tujuh tahun terakhir tinggal di Ibu Kota.
Bahri yang bermodal ijazah sekolah menengah kejuruan (SMK), nekat merantau dari Madura ke Tangerang dengan menumpang truk pengangkut ikan.
"Karena lulus sekolah, pikiran saya itu mudah mencari pekerjaan, sesuai skill dan kemampuan saya. Ternyata, enggak sesuai ekspektasi," kata Bahri saat ditemui Kompas.com di Jalan Yos Sudarso, Sungai Bambu, Tanjung Priok, Jakarta Utara pada Selasa (27/6/2023).
"Modal nekat saja. Karena setelah lulus sekolah itu, pikirannya saya, 'wah di sini pontang-panting, nih. Enggak ada kerjaan'. Daripada mondar-mandir, kebetulan pengin cari pengalaman juga, ya sudah," ungkap Bahri melanjutkan.
Setiba di Tangerang, Bahri langsung bergegas mencari pekerjaan. Dia sempat mendaftarkan diri ke berbagai perusahaan.
Sayangnya, tidak ada satu pun yang memanggilnya, entah melalui email atau panggilan telepon.
Tetapi, Bahri tidak patah semangat. Dia memberanikan diri menjadi kuli panggul di pasar-pasar.
Pekerjaan ini merupakan salah satu batu loncatannya yang kini menjadi petugas Suku Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Jakarta Utara.
Baca juga: Senangnya Jadi Warga Jakarta, Transportasi Publik Nyaman dan Banyak Fasum Ramah Anak
"Kuli panggul di pasar-pasar, habis itu ketemu teman lalu diajak ke hotel sebagai pencuci piring, beberapa bulan kemudian ketemu teman lagi diajak kerja ke ekspedisi, habis itu ya ke sini, kebetulan bertemu teman juga," ucap Bahri.
Kata Bahri, kini dia hanya menjalani hidup sesuai dengan alur yang sudah dikehendaki Tuhan. Pekerjaan ini bisa menghidupinya dan keluarga.
Dengan pengalamannya ini, dia memetik hikmah bahwa sebagai perantau di Ibu Kota sebaiknya membuang gengsi.
Baca juga: Pemprov DKI Diminta Tegas Tertibkan Terminal, Jangan Hangat-hangat Tahi Ayam
''Ya disitu kita intinya enggak malu untuk bergaul, mencari wawasan, teman yang bagus, ya Insya Allah ada saja jalan buat melompat pekerjaan," turur Bahri.
Selama tujuh tahun terakhir hidup di Jakarta, Bahri memiliki kesan tersendiri. Banyaknya orang dengan berbagai macam latar belakang membuatnya sulit untuk beradaptasi.
"Rasanya susahnya hidup di Jakarta pas itu. Karena beradaptasi juga sih waktu itu sama lingkungan, orang-orang sini. Orang-orang sini kan keras, Mas," tutur Bahri.
"Ya mungkin di daerah saya itu lebih sopan dan santun. Kalau di sini kan alakadarnya. Berbagai macam latar belakang. Jadi di situ suka duka saya di situ, beradaptasinya di situ," imbuh Bahri lagi.
Namun demikian, Bahri berhasil melewatinya. Dia bahkan bisa menemukan pujaan hati di Jakarta hingga akhirnya menjadi teman hidup.
"Yang penting gengsinya dikurangi deh. Buang sarungnya kalau kata orang Madura. Kalau di Madura santri, di sini blangsak saja. Kalau masih dipakai sarungnya, di sini enggak bisa hidup, terus terang," ujar Bahri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.