JAKARTA, KOMPAS.com - Beberapa waktu belakangan Hamid (78) tak lagi sibuk dengan perkakas andalannya untuk menambal alat dapur.
Pria yang bekerja sebagai tukang patri itu mengaku tak bisa berharap banyak pada profesi yang sudah dia geluti selama lebih dari 50 tahun itu.
Hamid tak memungkiri bahwa penyedia jasa tambal panci dan wajan mulai dilupakan.
Jumlah pelanggannya terus berkurang atau bahkan tidak ada sama sekali dalam waktu tertentu.
Entah apa yang membuat emak-emak tak pernah lagi terlihat datang membawa perabot dapur untuk diperbaiki.
Baca juga: Kisah Hamid, Lebih dari 50 Tahun Geluti Profesi Tukang Patri di Jakarta
Dari kacamata Hamid, peralihan bahan perabot dari baja menjadi plastik bisa jadi penyebabnya.
"Iya (sulit dapat pelanggan), sekarang serba plastik, rantang yang plastik, baskom plastik," kata Hamid saat berbincang dengan Kompas.com di Jalan Ampera Raya, Cilandak Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (5/10/2023).
Meski begitu, Hamid tidak punya alasan kuat mengapa dia memilih bertahan menjadi tukang patri di tengah zaman serba maju.
Sebelum Kompas.com menghampirinya, dia terlihat sedang menundukkan kepala untuk melindungi wajahnya dari terik matahari.
Selang beberapa lama, Hamid tampak mengambil ranting yang jatuh dari pohon untuk bahan bakar mematri.
Baca juga: Sepi Pelanggan, Hamid Tukang Patri Kini Andalkan Belas Kasih Orang demi Bayar Kontrakan
"Kalau ada yang patri ya kerja, kalau enggak ada yang tambal, ya begini, nongkrong. Habis mau bagaimana? enggak ada pekerjaan," ujar Hamid.
Sudah satu minggu terakhir, Hamid mengaku tidak ada yang menggunakan jasanya. Namun, banyak orang baik yang melintas di Jalan Ampera Raya.
Dia tidak menampik bahwa Hamid yang sudah menggeluti profesi tukang patri selama lebih dari 50 tahun tersebut kini hanya mengandalkan belas kasih orang lain.
Terkadang, kata Hamid, ada yang memberikan makanan hingga uang senilai Rp 50.000 atau Rp 100.000. Menurut dia, rezeki tersebut sudah lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
"Rezekinya ada saja yang dikasih sama Allah," ucap Hamid sambil tersenyum.
Baca juga: Kisah Perantau dari Pelosok Riau ke Jakarta: Banyak yang Bilang, Hidup di Jakarta Itu Keras