JAKARTA, KOMPAS.com - Aksi brutal tiga anggota TNI bernama Praka Riswandi Manik, Praka Heri Sandi, dan Praka Jasmowir, berujung pada tuntutan hukuman mati dan pemecatan dari dinas militer TNI AD.
Masing-masing pelaku berasal dari satuan Paspampres, Direktorat Topografi Angkatan Darat (Dittopad), dan Kodam Iskandar Muda Aceh.
Ketiganya didakwa karena telah membunuh pemuda asal Aceh bernama Imam Masykur. Ia adalah seorang penjual obat di Rempoa, Tangerang Selatan.
Kepala Oditurat Militer II-07 Jakarta Kolonel Kum Riswandono Hariyadi mengatakan, para terdakwa menyiksa Imam sehingga otak korban pendarahan.
Baca juga: Tuntutan Hukuman Mati dan Pemecatan dari TNI untuk Tiga Oknum TNI Pembunuh Imam Masykur
"(Tubuhnya juga) memar karena terjadi akumulasi pukulan dengan tangan maupun HT," kata Riswandono dalam sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Militer II-08 Jakarta, Cakung, Jakarta Timur, Senin (27/11/2023).
Imam Masykur diculik dari toko obatnya pada 12 Agustus 2023 sekitar pukul 16.00 WIB. Modus para terdakwa melakukannya adalah pemerasan berkedok penggerebekan toko obat.
Mereka menyamar menjadi polisi dan membawa surat tugas palsu saat berpura-pura membeli obat tramadol.
Para terdakwa memukuli korban dan meminta tebusan sebesar Rp 50 juta jika korban ingin dibebaskan.
Baca juga: Penasihat Hukum Keluarga Imam Masykur Puas dengan Tuntutan Hukuman Mati 3 Oknum Anggota TNI
Penganiayaan bertubi-tubi dialami tubuh Imam Masykur sampai dirinya tewas pada Sabtu malam.
Sepanjang penganiayaan, Riswandono mengungkapkan, bagian rahang Imam Masykur juga ditendang oleh Praka Heri Sandi. Tendangan itu juga mengenai leher korban.
"(Tendangan) mengenai leher, yang mengakibatkan tulang (pangkal) lidah korban patah," ujar Riswandono.
Tulang pangkal lidah yang patah membuat saluran pernapasan Imam Masykur terganggu. Hal inilah yang membuat korban meninggal lebih cepat.
Selain tulang pangkal lidah, tulang rahang Imam juga patah.
Baca juga: Oditur: Perbuatan 3 Oknum TNI Pembunuh Imam Masykur di Luar Batas Kemanusiaan
"Rahang juga patah, lepas dari kedudukannya kalau dari hasil visum. Itulah yang mempercepat kematian korban, dan (ditambah) dibuang ke sungai," ujar Riswandono.
Oditur militer menilai perbuatan para terdakwa itu sadis dan tidak manusiawi, bahkan di luar batas kemanusiaan.