JAKARTA, KOMPAS.com - Human Rights Trainer, Tati Krisnawaty (64) berharap kaum wanita bisa berjuang bersama-sama dalam memperjuangkan kesetaraan gender dan melawan penindasan.
“Wanita harus merawat semangat, merawat kekuatan bersama. Persoalan ini tak bisa ditangani sendiri, harus collectively (bersama-sama),” ujar Tati saat diwawancarai Kompas.com saat aksi “Perempuan Indonesia Geruduk Istana” di Silang Monas Barat Daya, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (8/3/2024).
Dia berpendapat, kaum perempuan dapat merawat semangat perlawanan terhadap penindasan melalui aksi-aksi bertemakan perempuan. Selain itu, berpartisipasi dalam aksi juga menjadi bentuk perlawanan terhadap kapitalisme dalam negara.
“Sebagai contoh, (permasalahan) Pemilu hanya gunung es. Di bawahnya ada banyak persoalan tentang pelanggaran-pelanggaran hukum dan hak asasi yang tak pernah diselesaikan. Contoh lain, hutan di Kalimantan, Papua–semua dieksploitasi dan tak diselesaikan,” kata Tati.
Baca juga: Cerita Nancy Saat Aksi Hari Perempuan Internasional, Sedih Tak Bisa Berorasi di Depan Istana
Dalam Hari Perempuan Internasional tahun ini, Tati berharap kaum wanita bisa lebih menyadari pentingnya perjuangan dalam menyetarakan gender. Sebab, perjuangan untuk keadilan bersifat keberlanjutan.
“Harapanku, bahwa kami (wanita) ada networking yang lebih luas. Ada kesadaran yang lebih konsisten dan mendalam, contohnya kayak berpanas-panas begini saat aksi,” ujarnya.
Sebagai informasi, aksi “Perempuan Indonesia Geruduk Istana” digelar bertepatan dengan momentum Hari Perempuan Internasional.
Diketahui, setiap tanggal 8 Maret diperingati sebagai tonggak sejarah perjuangan perempuan seluruh dunia untuk mencapai kesetaraan, pemenuhan hak-hak, dan pengakuan atas hak asasi manusia (HAM).
Adapun, kaum perempuan yang ikut serta dalam aksi itu menyoroti sejumlah kemerosotan demokrasi di dalam negeri selama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Mereka menyoroti soal upaya melanggengkan kekuasaan oligarki dan kekerasan yang menargetkan pejuang keadilan serta impunitas pada para penjahat HAM.
Kemudian, DPR dinilai tidak menjalankan fungsi check and balances, dan Presiden Jokowi dinilai melakukan pengkondisian politik dengan tujuan mempertahankan pengaruh dan kekuasaannya.
Baca juga: Komnas Perempuan Desak Peraturan Pelaksana UU TPKS Segera Disahkan
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.