DEPOK, KOMPAS.com - Sejumlah pekerja menyatakan keberatan terhadap wacana program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), salah satunya Dimas (30). Dimas yang bekerja sebagai karyawan swasta salah satu perusahaan di Jakarta itu khawatir, dana Tapera bakal disalahgunakan.
Ia pun menyinggung kasus korupsi pengelolaan dana PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) (Persero) dan korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
"Gimana masyarakat mau percaya kalau pemberitaan Jiwasraya dan Asabri saja lagi ramai karena korupsi. Mereka kan punya skema kurang lebih sama kayak Tapera," kata Dimas kepada Kompas.com, Senin (3/6/2024).
Menurut Dimas, pemerintah terkesan terburu-buru dan memaksa warganya untuk mengikuti program Tapera. Padahal, menurut dia, tidak ada keuntungan pasti yang bisa diperoleh pekerja dari program yang dicanangkan pemerintahan Presiden Joko Widodo tersebut.
"Saya tidak setuju karena saya tidak melihat adanya keuntungan yang bisa diperoleh dari informasi yang saya serap dari sosialisasi Tapera sejauh ini," ungkap Dimas.
Baca juga: Tolak Tapera, Warga: Kesannya kayak Dipaksa Punya Rumah, padahal Masih Banyak Kebutuhan Lain
Dimas mengaku, pendapatannya per bulan berada di kisaran Rp 22,7 juta. Jika dipotong untuk iuran tapera Rp 2,5 persen, gajinya bakal berkurang sekitar 568.000 per bulan.
Menurut Dimas, jumlah itu cukup signifikan lantaran gajinya masih harus dipotong untuk iuran lain, seperti, Jaminan Hari Tua (JHT), BPJS Ketenagakerjaan, dan BPJS Kesehatan.
"Iuran sebesar itu tentu sangat keberatan, karena belum jelas fungsinya. Niat pemerintah (mungkin) sudah bagus tapi sosialisasinya, mekanisme penarikan iurannya, masih terlalu samar," ujar Dimas.
Dimas pun menilai, pemerintah terlalu jauh dalam mengurusi kepemilikan rumah warganya. Alih-alih memaksa warga iuran, kata dia, seharusnya pemerintah menyediakan rumah dengan harga terjangkau.
"Negara kenapa ikut-ikutan investasi beginian? Bentuk pengadaan rumah juga cukup. Contohnya ya pemerintah menyediakan rumah-rumah BTN atau bentuk serupa yang harganya bisa dijangkau oleh masyarakat," lanjut Dimas.
Hal senada juga disampaikan pegawai swasta lain bernama Intan (24). Karyawan swasta perusahaan di Jakarta Pusat itu menilai, Tapera tak mendesak.
"Urgensinya nggak jelas, karena tidak semua orang mau punya rumah yang dananya diatur oleh pemerintah," terang Intan.
Menurut Intan, iuran Tapera bakal membuat pendapatannya berkurang. Padahal, banyak hal penting lain yang harus dibayarkan.
Intan juga khawatir, program Tapera justru menyebabkan persoalan lain, seperti penyelewengan dana oleh pengelola.
"Misal dari segi administratif bisa saja birokrasinya lamban atau pengelolaan dana Tapera nantinya malah dialokasikan untuk urusan pribadi para pejabat," jelas Intan.