JAKARTA, KOMPAS.com — 
Pengosongan lahan di sekitar Waduk Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara, terus berlanjut. Kali ini sasarannya 113 bangunan liar di sisi selatan. Para penghuni diberi waktu tujuh hari untuk membongkar sendiri huniannya mulai Kamis (17/10/2013).

Tim gabungan Satuan Polisi Pamong Praja Kelurahan Pluit dan Kecamatan Penjaringan, Brimob Polda Metro Jaya, serta Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan Jakarta Utara mendata ulang penghuni Kampung Taman Burung, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan. Mereka juga membagikan surat perintah pengosongan kepada pemilik bangunan.

Hingga Kamis sore, sedikitnya 40 dari 113 bangunan di Kampung Taman Burung telah dibongkar sendiri para pemiliknya. Pemilik tinggal sementara di rumah kontrakan atau saudara.

Pemerintah menyiapkan 120 unit hunian di Rusun Pinus Elok, Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur. Namun, infrastruktur air dan listrik di sebagian unit masih dalam pemasangan.

"Sebenarnya, kami masih betah tinggal di sini. Namun, apa boleh buat, tanah di sini memang bukan milik kami," ujar Murni (45), yang berkemas pindah. Ia dan sejumlah warga khawatir di tempat baru hidup mereka bakal lebih susah.

"Katanya belum ada listrik. Listriknya belum nyambung. Air juga katanya lebih susah diperoleh di sana (rusun)," kata Wasdi (50). Warga lainnya, Khoiri (36), berharap Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mau mendengar kesulitan warga di tempat baru.

Warga memilih membongkar sendiri huniannya untuk memanfaatkan material bangunan. "Daripada dirobohkan alat berat, barang-barang yang masih bisa dimanfaatkan ikut hancur. Lebih baik kami bongkar, kumpulkan, dan bawa ke tempat baru," ucap Hadi (55).

Bertahap

Wakil Lurah Pluit Depika Romadi S menambahkan, pengosongan lahan ditempuh bertahap sesuai kesiapan rusun. "Kami dapat info dari Dinas Perumahan DKI Jakarta, ada 120 unit rusun yang siap menampung warga pindahan," ujarnya.

Pengosongan Kampung Taman Burung dilakukan dalam dua tahap. Pada tahap pertama, aparat menyasar 113 bangunan yang dihuni lebih dari 150 keluarga. Menurut Depika, sebagian penghuni adalah pengontrak rumah atau kamar kos. Namun, rusun hanya diprioritaskan bagi pemilik bangunan.

Beberapa warga mengaku tidak berhak mempertahankan lahan dan siap pindah ke rusun. Namun, beberapa penghuni menuntut ganti rugi bangunan. Mereka bahkan baru 1-2 tahun membeli lahan berukuran 18-30 meter persegi seharga belasan juta rupiah di kawasan itu.

Mereka mendatangi petugas dan membicarakan ganti rugi. Namun, Depika menyatakan, pemerintah hanya menyediakan rusun untuk tempat relokasi, bantuan tenaga, dan sarana transportasi untuk pindah. "Pemerintah tidak memberikan ganti rugi lahan atau bangunan," ujarnya.

Koordinator Normalisasi Waduk Pluit Heryanto menyatakan lebih tenang jika para penghuni membongkar sendiri bangunannya ketimbang petugas yang membongkar dengan alat berat. Kehadiran alat berat di tempat itu membuat warga trauma.

"Kesannya, aparat itu kejam, tidak berperikemanusiaan. Kalau yang membongkar pemilik sendiri, kan, beda. Kalau dibutuhkan, kami siap membantu," ucap Heryanto. Seperti sisi Waduk Pluit yang telah dikosongkan sebelumnya, lahan milik negara yang dihuni warga di Kampung Taman Burung akan dibangun menjadi jalan inspeksi, hutan, dan taman kota. Pemerintah, melalui PT Jakarta Propertindo, juga membangun instalasi pengolahan air limbah dan air bersih di sekitar Waduk Pluit.

Sekitar 20 hektar dari total 80 hektar luas Waduk Pluit diokupasi warga. Saat banjir besar melanda Jakarta pada Januari 2013, Waduk Pluit diperkirakan dihuni 15.000 keluarga, mayoritas di sisi timur waduk. (WIN/MKN/NEL/NDY)