JAKARTA, KOMPAS.com - Bakal calon gubernur DKI Jakarta Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan perlunya transisi dan sosialisasi dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Termasuk dalam mengentaskan kemacetan lalu lintas di Jakarta.
"Bagi saya yang belajar hukum, transisi dan sosialisasi sangat penting. Jangan mengubah sesuatu, betapapun sesuatu itu jelek, sebelum kita siapkan lebih baik," kata Yusril saat berbincang dengan redaksi Kompas.com, Jakarta Selatan, Selasa (5/4/2016).
Pakar hukum tata negara ini mencontohkan kebijakan "three in one" di Jakarta. Ia sepakat "three in one" bukan sebagai solusi kemacetan. Namun, kebijakan itu secara tak langsung dapat mengurangi sedikit kemacetan pada pagi dan sore hari waktu "three in one".
Kendati demikian, ada ekses negatif dari "three in one", salah satunya joki.
"Betapapun 'three in one' buruk, kalau kita hentikan harus ada masa transisinya," sambung Yusril.
Solusi ganjil genap yang disebut-sebut sebagai wacana pengentasan kemacetan di Jakarta nampaknya memiliki sisi yang bisa diserang secara hukum. Yusril sendiri mengakui, pemerintah akan digugat jika sistem itu diterapkan.
"Nomor polisi hari ini ganjil, besok genap keluar. Tapi ya pemerintah kalau digugat ke pengadilan bakal kalah," kata Yusril.
Sebab, pemilik kendaraan bermotor membayar pajak selama satu tahun, namun dipakai hanya enam bulan.
"Kalau saya pakai enam bulan, ngapain saya bayar pajak setahun," kata Yusril. (Baca: Yusril Dianggap Bakal Calon Serba Untung)
Solusi nyata
Dalam pengentasan kemacetan, Yusril memiliki sejumlah solusi, baik itu rencana jangka pendek atau menengah. Dalam rencana jangka pendek, kata Yusril, Pemerimtah Provinsi DKI Jakarta bisa menerapkan perbedaan waktu kerja antara pegawai negeri sipil dan pegawai swasta.
"Katakanlah pegawai negeri, tni polri masuk jam delapan pagi. Pegawai swasta masuk jam sepuluh Maka itu, PNS bisa pulang jam tiga sore. Pegawai swasta pulang jam enam sore. Itu jangka pendek," kata Yusril.
Sementara itu, rencana jangka menengahnya bisa dilakukan berupa jalan berbayar. Penerapan jalan berbayar itu dilakukan di jalan-jalan protokol yang langsung membelah Ibu Kota. Misalnya jalan dari daerah Jakarta Utara ke Jakarta Selatan, yakni dari Jalan Gajah Mada hingga Jalan Sisingamangaraja atau dari Jakarta Barat menuju Jalan Jakarta Timur, dari Jalan Jenderal Gatot Subroto hingga Cawang.
"Itu kendaraan enggak boleh lewat situ selama 24 jam, kalau dia enggak bayar stiker. Entah Rp 500 ribu atau Rp 1 juta," ungkap Yusril. (Baca: "Insya Allah Bang Yusril Tak Jadi Kutu Loncat kaya Kodok")