Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melihat Penertiban Bukit Duri dari Perspektif Hukum

Kompas.com - 30/09/2016, 08:36 WIB
Nibras Nada Nailufar

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Sikap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang tidak menangguhkan penggusuran di Bukit Duri, Jakarta Selatan, saat gugatan hukum sedang berjalan, menuai kecaman keras dari sejumlah pegiat hak asasi manusia.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Juni lalu, menerima gugatan class action di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sekitar 90 warga Bukit Duri yang menolak relokasi, menagih janji Presiden Joko Widodo yang saat itu masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Mereka yang menolak meminta ganti rugi dalam bentuk permukiman baru sesuai dengan konsultasi publik Jokowi yang diselenggarakan pada 16 Oktober 2012 di Sanggar Ciliwung.

Terkait penggusuran untuk program normalisasi Ciliwung itu, warga Bukit Duri yang tergusur menyebutkan kerugian Rp 1,7 triliun dalam gugatannya. Dasar yang digunakan penggugat adalah bahwa Pemprov DKI Jakarta melakukan normalisasi Sungai Ciliwung tanpa dasar hukum yang jelas.

Vera Soemarwi, kuasa hukum warga penggugat mengatakan, sebenarnya ada dasar hukum atau keputusan untuk melaksanakan normalisasi. Hanya saja, keputusan tersebut sudah kedaluwarsa.

"Ada jangka waktunya (mengerjakan normalisasi Ciliwung), sudah habis 5 Oktober 2015 berdasarkan SK Gubernur Nomor 2181 tahun 2014," kata Vera, Kamis (29/9/2016).

SK Gubernur Nomor 2181 tahun 2014 merupakan surat keputusan untuk memperpanjang penetapan lokasi pelaksanaan pembangunan trase Sungai Ciliwung dari Pintu Air Manggarai sampai dengan Kampung Melayu.

Perpanjangan tersebut berlaku satu tahun, efektif sejak SK tersebut ditandatangani Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pada 17 Desember 2014. Perpanjangan dibuat oleh Pemprov sebab Pergub 163 Tahun 2012 yang dibuat Fauzi Bowo tentang penguasaan perencanaan/peruntukan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, yaitu noemalisasi Ciliwung, hanya berlaku dua tahun sejak diterbitkan 28 September 2012.

Warga yang gugatan class action-nya dinyatakan sah pada 2 Agustus lalu, kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) setelah Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Selatan menerbitkan surat peringatan (SP) pembongkaran bangunan bagi warga.

Vera mengatakan, gugatan itu diajukan karena pemerintah dianggap menyalahi kewenangannya melalui SP itu. SP-1 hingga 3 itu isinya meminta warga membongkar sendiri bangunannya. Jika tidak, Satpol PP akan membongkarnya.

Gugatan itu didaftarkan awal September lalu dan kini sedang masuk tahap provisi atau pemeriksaan dari pengadilan. Namun pemerintah tidak mengindahkan dengan alasan tidak ada keputusan mengikat maupun peraturan yang melarang pemerintah untuk melanjutkan proyek normalisasi.

Dalam argumennya, Pemkot Jakarta Selatan menggunakan UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang telah dua kali diubah menjadi UU Nomor 51 Tahun 2009.

Pasal 49 menyatakan: Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan: a. dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam perundang-undangan dijelaskan maksud dari huruf b, yaitu: Yang dimaksud dengan"kepentingan umum" adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat bersama dan/atau kepentingan pembangunan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Namun Vera melihat 'kepentingan umum' yang menjadi dalil pemerintah, tidak tepat sebagai pembenaran.

"Dalam SP yang digunakan itu ketertiban umum, itu berbeda dengan kepentingan umum. Jadi seperti buah simalakama. Dia gunakan normalisasi sudah kedaluwarsa, kalau dia gunakan tibum (ketertiban umum) juga salah," kata dia.

Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Tibum itu sendiri dianggap tak berlaku sesuai dengan asas retroaktif berlaku surut. Apalagi, perkaranya menyangkut hak asasi manusia yaitu hak untuk hidup.

"Warga sudah ada sebelum Perda itu disahkan. UU tidak boleh diberlakukan surut, itu asas yang sangat fundamental. Itu (Perda Nomor 8 Tahun 2007) hanya boleh diterapkan sejauh ada persetujuan dari masyarakat," kata Vera.

Kompas TV Pembersihan Puing Bangunan di Bukit Duri Dilakukan
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Golkar: Elektabilitas Bukan Jadi Indikator Utama untuk Pilih Cagub DKI

Golkar: Elektabilitas Bukan Jadi Indikator Utama untuk Pilih Cagub DKI

Megapolitan
Polisi Periksa 13 Saksi dalam Kasus Anggota Polisi yang Tembak Kepalanya Sendiri

Polisi Periksa 13 Saksi dalam Kasus Anggota Polisi yang Tembak Kepalanya Sendiri

Megapolitan
Nestapa Agus, Tak Dapat Bantuan Pemerintah dan Hanya Andalkan Uang Rp 100.000 untuk Hidup Sebulan

Nestapa Agus, Tak Dapat Bantuan Pemerintah dan Hanya Andalkan Uang Rp 100.000 untuk Hidup Sebulan

Megapolitan
Ogah Bayar Rp 5.000, Preman di Jatinegara Rusak Gerobak Tukang Bubur

Ogah Bayar Rp 5.000, Preman di Jatinegara Rusak Gerobak Tukang Bubur

Megapolitan
Kapolres Jaksel: Brigadir RAT Diduga Bunuh Diri karena Ada Masalah Pribadi

Kapolres Jaksel: Brigadir RAT Diduga Bunuh Diri karena Ada Masalah Pribadi

Megapolitan
Polisi: Mobil Alphard yang Digunakan Brigadir RAT Saat Bunuh Diri Milik Kerabatnya

Polisi: Mobil Alphard yang Digunakan Brigadir RAT Saat Bunuh Diri Milik Kerabatnya

Megapolitan
Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Sabtu 27 April 2024, dan Besok: Siang ini Hujan Ringan

Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Sabtu 27 April 2024, dan Besok: Siang ini Hujan Ringan

Megapolitan
[POPULER JABODETABEK] Warga yang 'Numpang' KTP Jakarta Protes NIK-nya Dinonaktifkan | Polisi Sita Senpi dan Alat Seks dari Pria yang Cekoki Remaja hingga Tewas

[POPULER JABODETABEK] Warga yang "Numpang" KTP Jakarta Protes NIK-nya Dinonaktifkan | Polisi Sita Senpi dan Alat Seks dari Pria yang Cekoki Remaja hingga Tewas

Megapolitan
Harga Bawang Merah Melonjak, Pemprov DKI Bakal Gelar Pangan Murah

Harga Bawang Merah Melonjak, Pemprov DKI Bakal Gelar Pangan Murah

Megapolitan
Pemprov DKI Diminta Lindungi Pengusaha Warung Madura Terkait Adanya Permintaan Pembatasan Jam Operasional

Pemprov DKI Diminta Lindungi Pengusaha Warung Madura Terkait Adanya Permintaan Pembatasan Jam Operasional

Megapolitan
Kronologi Brigadir RAT Bunuh Diri Pakai Pistol di Dalam Alphard

Kronologi Brigadir RAT Bunuh Diri Pakai Pistol di Dalam Alphard

Megapolitan
Polisi Pastikan Kasus Dugaan Pemerasan Firli Bahuri Masih Terus Berjalan

Polisi Pastikan Kasus Dugaan Pemerasan Firli Bahuri Masih Terus Berjalan

Megapolitan
Brigadir RAT Diduga Pakai Pistol HS-9 untuk Akhiri Hidupnya di Dalam Mobil

Brigadir RAT Diduga Pakai Pistol HS-9 untuk Akhiri Hidupnya di Dalam Mobil

Megapolitan
Korban: Guling yang Dicuri Maling Peninggalan Almarhum Ayah Saya

Korban: Guling yang Dicuri Maling Peninggalan Almarhum Ayah Saya

Megapolitan
Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com