JAKARTA, KOMPAS.com - Kuasa hukum Basuki Tjahaja Purnama mengaku mendapatkan banyak pertanyaan tentang sikap mereka yang kerap menyerang hal-hal pribadi dari para saksi di persidangan.
Salah satu kuasa hukum Basuki, Edi Danggur, mengatakan, hal tersebut dilakukan untuk menguji kualitas kesaksian para saksi.
"Saya mau katakan bahwa itu diperbolehkan. Artinya ada dasar hukumnya sebagaimana diatur Pasal 185 ayat 6 huruf d KUHAP," ujar Edi di Rumah Lembang, Menteng, Kamis (12/1/2017).
Dia mencontohkan saksi Irena Handono yang kemarin hadir di persidangan. Edi mengatakan, tim kuasa hukum sempat menyelidiki latar belakang Irena.
Dalam BAP, pendidikan akhir Irena tertulis Diploma 3 pada tahun 1975. Padahal, pendidikan diploma baru ada sekitar tahun 1980.
Edi mengatakan, tim kuasa hukum juga sudah bertemu dengan teman satu biara Irena. Irena disebut mengikuti pendidikan di sekolah untuk para calon imam, pastor, dan biarawati.
Namun, Irena disebut hanya 6 bulan mengenyam pendidikan di sana. Kata Edi, Irena mengaku masuk kuliah pada 1972. Padahal berdasarkan pengakuan teman-teman Irena, Irena mulai berkuliah pada 1974.
"Kenapa saat sidang dia bilang masuk 1972? Karena dia mau pas-paskan dengan pendidikan Diplomat 3 itu. Dari 1972 ke 1975 itu kan 3 tahun. Lagi-lagi bohong, ini akan kita masukkan pledoi kita," ujar Edi.
Edi mengatakan, kuasa hukum ingin mempertanyakan kualitas saksi yang hadir di persidangan terakhir. Kuasa hukum ingin menunjukkan bahwa saksi yang hadir tidak bisa dipercaya karena berbohong dalam BAP.
"Maka secara hukum kesaksian yang demikian tidak patut dipercaya dan saksi demikian disebut saksi yang tidak kredibel," ujar dia.
"Jadi relevansi kenapa hal-hal pribadi ditanyakan? Karena dalam pasal itu, dari saksi yang tidak kredibel, tidak patut bagi hakim untuk memutuskan dasar suatu perkara," ujar dia.