JAKARTA, KOMPAS.com - Warga Pulau Pari, Dian Astuti, menerima somasi dari PT Bumi Pari pada Selasa (6/6/2017) dan diminta segera mengosongkan rumahnya. Suami Dian, Edi Priadi, adalah nelayan yang baru saja selesai menjalani hukuman 4 bulan penjara karena dinilai menuduki lahan milik PT Bumi Pari di Pulau Pari, Kepulauan Seribu.
"Somasi dari perusahaan isinya saya harus mengosongkan rumah tersebut kalau tidak mengosongkan saya dikenakan pidana empat tahun penjara," kata Dian, di Kantor Walhi, Jakarta Selatan, Kamis (8/6/2017).
Dian mengatakan, somasi itu bukan yang pertama diterimanya. Maret lalu, dia juga disomasi dan didatangi petugas keamanan PT Bumi Pari yang mengklaim sebagai pemilik lahan.
Saat itu, Dian sempat ditawari uang oleh petugas kecamatan agar mau meninggalkan rumah dan tanahnya.
"Datang wakil kecamatan membawa uang Rp 20 juta dan saya diminta menandatangani surat bahwa saya terima uang. Saat itu saya takut masih menunggu suami saya keluar dari penjara," ucap Dian.
Adapun Edi, pada 2016 dilaporkan ke polisi oleh PT Bumi Pari karena dianggap menduduki lahan milik perusahaan. Edi diperiksa dan ditahan, padahal dia merupakan salah satu warga pertama yang bermukim di Pulau Pari sejak 1990.
Pulau itu secara sah merupakan tanah negara karena tidak ada yang memilikinya.
Dalam persidangan, BPN Jakarta Utara menyatakan rumah Edi bukan termasuk tanah milik perusahaan. Namun tetap saja Edi dinyatakan melanggar Pasal 167 KUHP.
Edi baru bebas menjalani hukuman pada Rabu (7/6/2017).
"Pak RW yang dari tahun 1980 sampai 1994 sudah menyatakan di atas materai dia tidak pernah melihat ada warga yang menjual tanah ke perusahaan, tidak ada juga pengukuran tanah oleh BPN untuk buat sertifikat," ucap Edi.
Sahrul mengatakan rebutan Pulau Pari antara PT Bumi Pari dengan warga sarat dengan kejanggalan. Plang perusahaan sebagai pemilik tanah tidak pernah ada di Pulau Pari selama puluhan tahun.
Pengukuran oleh BPN yang menjadi kewajiban proses sertifikasi lahan juga tidak pernah ada. Namun, sertifikat atas nama perusahaan tiba-tiba keluar pada 2015.
"Kami merasa aneh dan janggal, kami penduduk asli enggak bisa bikin sertifikat," kata Sahrul.
Selama ini Warga hanya mengenal LIPI sebagai salah satu pengelola pulau. LIPI juga disebut pernah memperebutkan hak pakai pulau itu dengan PT Bumi Pari.