Kios-kios yang memamerkan karya-karya seni nampak seperti tak bertuan.
Hanya ada patung-patung, lukisan dan karya seni lainnya yang terpajang menghiasi kios-kios itu.
Setelah melewati beberapa blok, nampak seorang pria sedang sibuk membersihkan ukiran kayu yang masih separuh jalan dia selesaikan.
Namanya Amirudin, salah satu pengrajin kayu yang baru dua minggu kembali membuka kiosnya, setelah pulang dari kampung halaman di Brebes, Jawa Tengah.
"Saya baru buka lagi dua mingguan di sini, selama delapan bulan ke kampung, dari Maret kemarin," kata Amirudin kepada Kompas.com, Kamis (12/11/2020).
Kawasan Ancol memang sempat ditutup untuk umum karena Pandemi Covid-19.
Belum lama kembali ke Ibu Kota, pria yang akrab disapa Amir ini sudah mengeluh lagi. Kalau bukan karena pelanggan, Amir lebih memilih tinggal di kampung.
"Ah ini aja mau pulang lagi ke kampung. Habis makannya gimana? Aku ke sini juga karena kerjaan ada yang pesan, kalau enggak ada yang pesan mau makan dari mana?" keluhnya sambil menghisap sebatang rokok.
"Kalau di kampung bikin karya enak, minimal makan gratis enggak bayar kontrakan," sambung Amir.
Amir mengaku tak lagi memiliki tempat tinggal di Jakarta selain kiosnya itu.
Ia rela tinggal di sana untuk mengurangi pengeluaran, demi bisa bertahan hidup kala dihantam pandemi.
"Kalau ngontrak sekarang mah enggak kebayar," katanya.
Bila sebelum pandemi banyak pelanggan yang membeli langsung karya-karyanya, kini Amir hanya mengandalkan pesanan dari pelanggan yang masih tersisa.
"Dulu sebelum pandemi rame banyak acara musik-musik, rame pengunjung, seniman. Sekarang sepi, enggak ada orangnya, enggak ada pemasukan, paling langganan-langganan aja," ujar Amir sambil menatap ukiran kayu yang belum juga dia selesaikan itu.
Hanya ada enam karya seni Amir yang terpajang di dinding. Selebihnya ada potongan-potongan kayu dan alat-alat yang biasa dia pakai untuk mengukir.
Amir bercerita, tingkat kesulitan dalam mengukir menjadi tolok ukurnya dalam mentukan harga sebuah karya.
Namun, di saat-saat seperti ini, Amir tak bisa menjual karyanya dengan harga tinggi. Bahkan, dia terpaksa banting harga agar karyanya laku terjual.
"Ada yang kecil mahal, yang gede murah, kalau kepentok ya udah murah semua lah. Yang ini jual murah ini, contohnya ini udah ada yang punya," kata Amir sambil menunjukkan karyanya.
"Ini dari harga Rp 7 juta sampai Rp 6 juta dijual Rp 3,5 juta, itu juga sama teman jualnya," tambahnya.
Sempat terbesit oleh Amir untuk mencari pekerjaan lain demi tetap mendapat penghasilan.
Namun, pria yang sudah bekerja di Pasar Seni sejak 1995 itu mengaku tak bisa melepaskan profesinya sebagai seorang seniman ukir.
Beruntung, Amir dan para seniman lain mendapat keringanan dalam membayar biaya sewa kios mereka.
"Nah kebijakan kantor selama lockdown enggak ada sewa. Lah mulai bulan ini separuh harga kebijakannya begitu," tutur Amir.
Pembayaran sewa itupun tidak wajib dilakukan setiap bulan.
"Bayarnya per bulan, cuma untungnya kita enggak diwajibkan per bulan, nanti paling kalau ada pengumuman baru pada bingung," ujar Amirudin.
"Aku aja setahun belum bayar. Biasanya akhir tahun harus bikin kartu masuk syaratnya harus lunas," lanjutnya.
Amir adalah satu dari segelintir seniman di Pasar Seni Ancol yang tetap memilih menggantungkan hidup melalui karya seninya.
Sebagian besar dari mereka meningalkan karya-karyanya di kios dan mencari rezeki di tempat lain.
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/11/13/08152141/seniman-pasar-seni-ancol-bertahan-dihantam-pandemi-banting-harga-hingga