Salin Artikel

Serpong, Kawasan Hutan Karet yang Beralih Menjadi “Hutan Permukiman”

TANGERANG SELATAN, KOMPAS.com - Pada 1989 silam, Kecamatan Serpong dipersiapkan menjadi kota penyangga guna menjawab persoalan semakin padatnya Ibu Kota Jakarta.

Setelah itu, lambat laun Serpong beralih dari kebun karet menjadi permukiman dan kawasan komersial. Nama Serpong pun tenar dan menjual untuk sektor properti.

Berdasarkan catatan arsip harian Kompas, sebutan Serpong sebagai kota, antara lain, tercantum dalam Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang Nomor 4 Tahun 1989 tentang Rencana Umum Tata Ruang Kota Serpong Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang.

Perda itu diterbitkan bertepatan dengan masuknya investor ke Serpong sejak tahun 1984.

Gambaran soal Serpong sebagai kota, antara lain, disampaikan Rizal Sofyan Gueci (64), dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang juga warga Lengkong Gudang, Kecamatan Serpong, Tangsel.

”Serpong sejak dahulu sudah ramai meski letaknya jauh dari pusat Kabupaten Tangerang. Sejak zaman sebelum kemerdekaan sudah ada jalur kereta api Tanah Abang-Rangkasbitung. Kereta sudah berhenti di Serpong,” tutur Rizal dalam wawancara dengan harian Kompas.

Serpong semakin ramai dengan didirikannya Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) oleh Presiden Soekarno.

Kemudian Universitas Indonesia bekerja sama dengan Universitas Leiden, Belanda, membuat pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) di Serpong untuk kegiatan penelitian dan pengembangan serta pengabdian masyarakat.

”Waktu UI membuat puskesmas di Serpong, kakak saya sudah jadi mahasiswa Fakultas Kedokteran UI. Saya menjadi mahasiswa Fakultas Hukum UI tahun 1974," ujar Rizal.

"Wakil Rektor UI waktu itu, Prof Slamet Iman Santoso, yang menggagas kerja sama UI dan Leiden di Serpong,” imbuhnya.

Hingga saat ini, Puskesmas Serpong masih ada, terletak di tepi Jalan Raya Serpong, bersebelahan dengan Pasar Serpong.

Bangunan puskesmas masih berupa bangunan lama dengan beberapa bangunan baru.

Jalan berbatu

Serpong di tahun 1950-an menjadi pusat kota bagi daerah di sekitarnya, seperti Kecamatan Muncul, Cisauk, hingga Gunung Sindur yang masuk Kabupaten Bogor.

Warga Kelurahan Gunung Sindur, Bahrudin Halim, bercerita, dahulu jalan utama menuju Serpong adalah Jalan Raya Serpong saat ini.

Jalan itu awalnya masih berupa jalan tanah berbatu.

”Dulu belum ada angkutan. Kami berjalan kaki. Kalau yang ekonominya agak bagus, bisa naik sepeda ontel. Angkutan yang lain, menggunakan rakit melalui Sungai Cisadane. Kalau mau ke Jakarta, naik kereta dari Stasiun Serpong. Kalau mau pulang dan ketinggalan kereta, terpaksa harus jalan kaki semalaman,” tutur Bahrudin mengenang.

Kereta api saat itu masih kereta api uap. Banyak pula orang duduk di atas atap kereta sehingga setiba di tujuan, wajah mereka dipastikan legam terkena asap hitam batubara.

”Lama-kelamaan mulai ada angkutan mobil reo, truk yang membawa pasir dan batu dari Gunung Sindur. Tahun 1958, mulai ada angkutan VC, bekas mobil perang, dibeli masyarakat, diberi tutup terpal, melayani arah Kota Tangerang sampai Serpong dan Gunung Sindur,” ungkap Bahrudin.

Kawasan permukiman strategis

Apang Asmara, warga Kampung Cikareo, Serpong, mengatakan, dulu banyak warga Serpong bekerja di kebun karet sebagai penyadap karet.

Selain komoditas karet, Serpong juga banyak ditanami varietas kelapa kuning pada zaman Orde Baru.

Tahun 1984-1985, pengembang mulai masuk Serpong dan membeli tanah warga untuk dijadikan perumahan. Kini, Serpong dipenuhi permukiman elite dan kawasan komersial.

Saking menjualnya nama Serpong, saat ini perumahan yang lokasinya sudah tidak di Serpong lagi, misalnya di Kecamatan Setu, Gunung Sindur, bahkan Ciseeng (sekitar 15 kilometer dari Serpong), masih menggunakan nama Serpong.

Beralihnya kebun karet juga mengubah pola transportasi. Kini tersedia berbagai pilihan moda transportasi menuju Serpong.

Selain kereta listrik yang semakin ramai saat jalur ganda beroperasi tahun 2007, juga tersedia jalan tol dan bus transjakarta. Kemudahan akses ini membuat Serpong kian diminati.

Namun, Iging berharap warga asli Serpong tidak hanya menjadi penonton di tengah gemerlap Serpong saat ini.

Dengan harga tanah yang melangit dan biaya hidup yang kian tinggi, warga asli Serpong, yang dahulu memiliki tanah itu, kini terimpit.

”Sekarang banyak yang menyesal. Tetapi, semua sudah terjadi. Semoga saja pemberdayaan bisa dilakukan sehingga warga juga bisa menjadi pemain, pelaku usaha, dan bisa bersaing dengan yang lain,” harap Iging. (Kompas : Amanda Putri Nugrahanti)

Artikel ini telah tayang di harian Kompas dengan judul "Serpong, Hutan Karet yang Beralih Rupa"

https://megapolitan.kompas.com/read/2022/10/11/06000061/serpong-kawasan-hutan-karet-yang-beralih-menjadi-hutan-permukiman-

Terkini Lainnya

KPU DKI Bakal 'Jemput Bola' untuk Tutupi Kekurangan Anggota PPS di Pilkada 2024

KPU DKI Bakal "Jemput Bola" untuk Tutupi Kekurangan Anggota PPS di Pilkada 2024

Megapolitan
Sudirman Said Bakal Maju Jadi Cagub Independen Pilkada DKI, Berpasangan dengan Abdullah Mansuri

Sudirman Said Bakal Maju Jadi Cagub Independen Pilkada DKI, Berpasangan dengan Abdullah Mansuri

Megapolitan
Pria yang Diduga Lecehkan 5 Bocah Laki-laki di Cengkareng Sempat Masuk ke Rumah Korban

Pria yang Diduga Lecehkan 5 Bocah Laki-laki di Cengkareng Sempat Masuk ke Rumah Korban

Megapolitan
Kondisi Terkini TKP Pengendara Motor Tewas Ditabrak Angkot, Lalu Lintas Berjalan Normal

Kondisi Terkini TKP Pengendara Motor Tewas Ditabrak Angkot, Lalu Lintas Berjalan Normal

Megapolitan
KPU DKI Jakarta Terima Konsultasi 3 Bacagub Jalur Independen, Siapa Saja?

KPU DKI Jakarta Terima Konsultasi 3 Bacagub Jalur Independen, Siapa Saja?

Megapolitan
Bakal Maju di Pilkada Depok, Imam Budi Hartono Klaim Punya Elektabilitas Besar

Bakal Maju di Pilkada Depok, Imam Budi Hartono Klaim Punya Elektabilitas Besar

Megapolitan
Seorang Pria Diduga Lecehkan 5 Bocah Laki-laki di Jakbar

Seorang Pria Diduga Lecehkan 5 Bocah Laki-laki di Jakbar

Megapolitan
74 Kelurahan di Jakarta Masih Kekurangan Anggota PPS untuk Pilkada 2024

74 Kelurahan di Jakarta Masih Kekurangan Anggota PPS untuk Pilkada 2024

Megapolitan
Denda Rp 500.000 Untuk Pembuang Sampah di TPS Lokbin Pasar Minggu Belum Diterapkan

Denda Rp 500.000 Untuk Pembuang Sampah di TPS Lokbin Pasar Minggu Belum Diterapkan

Megapolitan
Warga Boleh Buang Sampah di TPS Dekat Lokbin Pasar Minggu pada Pagi Hari, Petugas Bakal Lakukan 'OTT'

Warga Boleh Buang Sampah di TPS Dekat Lokbin Pasar Minggu pada Pagi Hari, Petugas Bakal Lakukan "OTT"

Megapolitan
Remaja yang Tusuk Seorang Ibu di Bogor Ditahan Selama 7 Hari

Remaja yang Tusuk Seorang Ibu di Bogor Ditahan Selama 7 Hari

Megapolitan
Dubes Palestina: Gaza Utara Hancur Total, Rafah Dikendalikan Israel

Dubes Palestina: Gaza Utara Hancur Total, Rafah Dikendalikan Israel

Megapolitan
Warga Luar Jadi Biang Kerok Menumpuknya Sampah di TPS Dekat Lokbin Pasar Minggu

Warga Luar Jadi Biang Kerok Menumpuknya Sampah di TPS Dekat Lokbin Pasar Minggu

Megapolitan
Remaja yang Tusuk Seorang Ibu di Bogor Kini Berstatus Anak Berhadapan dengan Hukum

Remaja yang Tusuk Seorang Ibu di Bogor Kini Berstatus Anak Berhadapan dengan Hukum

Megapolitan
Seorang Pria Ditemukan Meninggal Dunia di Dalam Bajaj, Diduga Sakit

Seorang Pria Ditemukan Meninggal Dunia di Dalam Bajaj, Diduga Sakit

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke