JAKARTA, KOMPAS.com - Melinus (49) dan Heri (36) adalah dua dari sekian banyaknya kepala rumah tangga yang menggantungkan hidup sebagai sopir angkutan kota (angkot) di Jakarta.
Melinus adalah pendatang dari Pulau Sumatera yang memang bercita-cita sebagai sopir di Ibu Kota.
Sedangkan Heri merupakan warga Betawi asli Jakarta yang sejak SMA ingin menjadi pengemudi transportasi roda empat ini.
Baik Melinus dan Heri, keduanya sama-sama memulai perjalanan mereka sebagai kernet terlebih dahulu saat awal berkecimpung di per-angkot-an.
Heri menceritakan alasannya ingin menjadi sopir karena menurutnya pekerjaan ini banyak dibutuhkan. Dulu, walau belum lulus SMA, Heri langsung belajar otodidak cara mengemudikan mobil.
"Saya belajar setelah SMA saya nggak lulus. Awalnya ngekernet. Saya otodidak bawa mobil tanpa belajar, itu pertengahan 2007," ujar dia saat ditemui Kompas.com di Terminal Pasar Minggu, Selasa (27/6/2023).
Sebelum menjadi pengemudi Mikrotrans saat ini, Heri sempat bekerja sebagai sopir metromini, angkot S15, hingga sopir perusahaan logistik.
Lain cerita dengan Melinus, yang berangkat seorang diri dari Nias tahun 1997 untuk mengadu nasib di kota ini sebagai sopir.
"Karena kita lihat orang-orang yang duluan kerja di metromini dan kondektur ini banyak duitnya. Gajinya lebih banyak dari pada orang-orang kayak misalnya guru, pegawai negeri, yang kantoran, jauh lebih banyak," kata Melinus dalam kesempatan serupa.
Masa-masa awal merantau di Ibu Kota pun tidak mudah bagi Melinus yang saat itu berusia 23 tahun tanpa ijazah SMA.
Ia bahkan pernah merasakan pahitnya terluntang-lantung tidur di jalanan dan tak makan.
"Tapi saya tidak mau nakal, tetap saya berjuang bagaimana di Jakarta agar hidup saya lebih baik. Akhirnya saya bergaul (berteman) dan ada yang ajak kerja 'ayo ikut saya ada usaha ini'," tutur dia.
Keduanya kini telah bekerja sebagai sopir Mikrotrans Transjakarta. Mereka bercerita, selama menjadi sopir Mikrotrans, pengemudi harus memberi pelayanan terbaik kepada penumpang, meski setiap hari harus berjibaku dengan berbagai macam karakter.
Menghadapi penumpang galak atau yang tak mau mengalah, sudah menjadi "santapan" sehari-hari.
"Penumpang disuruh ngetap (kartu) aja kadang enggak mau. Kita udah penuh aja mereka tetap maksa mau naik. Padahal kan Jaklingko (Mikrotrans) enggak cuma satu unit aja, masih ada mobil berikut di belakang. Kita kasih tahu, lebih galakan dia," ujar Heri sambil tersenyum kecil.
Hal serupa juga disampaikan Melinus. Kata dia, setelah dibekali pelatihan pelayanan dari Transjakarta, kebiasaan menghadapi penumpang sewaktu jadi sopir angkot reguler pun sudah berubah.
"Satu minggu kami disekolahkan (pelatihan), diarahkan secara pelayanan kami di lapangan, yang tadinya kebiasaan di angkot reguler kami marah-marah, di Jaklingko kami pelayanannya lebih baik," ucap Melinus.
Keduanya bersyukur, dengan menjadi sopir Mikrotrans, penghasilan pun tidak tergantung setoran penumpang lagi.
Dalam momen HUT DKI Jakarta ke-496 ini, mereka berharap pemerintah juga bisa menaruh perhatian lebih kepada rekan-rekan sopir lain.
Baik dalam kesejahteraan pekerja hingga mengurus kemacetan lalu lintas yang memengaruhi operasional transportasi umum.
"Jangan hanya diperhatikan orang atas, diperhatikan semua sampai ke rakyat-rakyat nya, apalagi pelayan-pelayan di Transjakarta, Mikrotrans, apapun itu harus benar-benar diperhatikan," ujar Melinus.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/06/28/17515611/manis-pahit-perjuangan-hidup-melinus-dan-heri-puluhan-tahun-jadi-sopir