JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta soal pengembangan food estate atau lumbung pangan di Kepulauan Seribu menyeruak ke publik.
Hal ini bermula saat Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengutarakan rencana tersebut saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) 2024 Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Selasa (19/3/2024).
Heru menerangkan, Kepulauan Seribu dipilih sebagai kawasan yang akan dikembangkan menjadi lumbung pangan, karena memiliki kekayaan sumber daya alam.
Heru mengatakan, Kepulauan Seribu merupakan wilayah perairan yang kaya akan hasil laut seperti ikan, rumput laut, ganggang, dan sebagainya.
Wacana ini pun menuai berbagai reaksi. Sejumlah pihak menilai proyek tersebut hanya keinginan sesaat dan latah akan program pemerintah pusat.
Produk lebih mahal
Komisi B DPRD DKI Jakarta meminta Pemprov DKI memperhitungkan secara matang rencana pengembangan wilayah Kepulauan Seribu menjadi lumbung pangan atau food estate.
Sebab, harga bahan pokok yang dihasilkan dikhawatirkan lebih tinggi, karena adanya biaya tambahan untuk distribusi melalui jalur laut.
"Secara harga pasti lebih tinggi dibanding di darat. Apakah ini tak menimbulkan cost baru? Makanya bentuk yang tepat optimalisasi Kepulauan Seribu apa, harus berbasis kajian,” ujar Ketua Komisi B DPRD DKI Jakarta Ismail, Kamis (21/3/2024).
Di samping itu, kata Ismail, pengembangan Kepulauan Seribu menjadi lumbung pangan juga memerlukan dana yang tak sedikit.
Salah satu sumber dana utama berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta, sehingga harus bisa dipertanggungjawabkan.
Kerusakan lingkungan
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mempertanyakan urgensi wacana pengembangan food estate atau lumbung pangan di Kepulauan Seribu.
Berkaca dari preseden food estate sebagai proyek skala besar, proyek tersebut disebut berpotensi meningkatkan kerentanan pulau-pulau kecil di Kabupaten Kepulauan Seribu.
"Eksploitasi di Kepulauan Seribu akan memperparah kerusakan yang terjadi," ucap Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan ICEL Difa Shafira kepada Kompas.com, Kompas.com, Rabu (20/3/2024).
Menurut Difa, seharusnya Pemprov DKI Jakarta berfokus pada pemulihan lingkungan terlebih dahulu.
"Apakah food estate memang merupakan solusi atau pemerintah seharusnya fokus memberikan dukungan dan perlindungan terhadap nelayan?" ucap Difa.
Di Kepulauan Seribu sendiri, Difa menjelaskan, problemnya itu ada pencemaran laut, kerusakan terumbu karang, dan konflik agraria.
"Ada problem juga terkait kerentanan karena Kepulauan Seribu yang karakteristiknya low lying island," ungkap Difa.
Nelayan bisa jadi korban
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai wacana pengembangan food estate di Kepulauan Seribu layaknya proyek latah Pemprov DKI.
"Banyak tempat mau dijadikan food estate yang sifatnya lebih ke proyek skala besar, butuh investasi banyak dan kurang partisipatif," ucap Bhima kepada Kompas.com, Rabu.
Menurut Bhima, Pemprov DKI akan sulit jika latah mengikuti jejak pemerintah pusat yang mana banyak proyek sifatnya top-down justru berakhir gagal.
Apabila Kepulauan Seribu ingin dijadikan pusat perikanan, kata Bhima, konsepnya harus partisipatif. Artinya, kebutuhan nelayan dan ekosistem di sana seperti apa harus sudah jadi pertimbangan utama.
"Jangan malah medatangkan investor kakap dari luar dan meminggirkan para nelayan, pengrajin rumput laut yang eksisting," ucap Bhima.
Selain itu, kata dia, pemerintah juga harus memperhatikan dampak lingkungannya, misalnya kekhawatiran limbah yang mencemari laut.
Selain itu, masalah lain yang harus dicegah adalah overfishing atau penangkapan ikan secara tidak berkelanjutan.
Berpotensi buang-buang anggaran
Bhima menilai, proyek food estate ini butuh perencanaan yang matang agar Pemprov DKI tak terjebak pada pemborosan anggaran.
Dia menyebutkan, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan food estate di Kepulauan Seribu itu.
Pertama, ucap Bhima, dalam prosesnya perlu berkonsultasi bermakna dari masyarakat, nelayan, serta pelaku usaha yang sudah eksisting.
Kedua, pemerintah juga sudah harus membuat rantai pasok hasil lumbung pangan itu mau dijual atau diserap ke mana saja hasil produksinya.
"Ketiga, memasukkan program tersebut dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) minimum lima tahun," ucap Bhima.
Terakhir, pemerintah juga mengatur alokasi anggaran sampai ke hal yang detail seperti pengadaan cold storage untuk ikan, mesin pengering rumput laut modern, dan tenaga pendamping.
https://megapolitan.kompas.com/read/2024/03/21/15450651/sederet-argumen-wacana-pengembangan-food-estate-oleh-heru-budi