Kita sulit membeli bus dalam jumlah besar. Dari rencana pembelian 1.000 unit bus sedang, baru sekitar 300 unit yang bisa dipenuhi produsen dalam negeri ataupun luar negeri. Kondisi yang sama menimpa upaya penambahan dan perbaikan unit bus transjakarta.
Di sisi lain, anggaran yang diajukan pemerintah tidak semua diloloskan (DPRD). Belum lagi mekanisme birokrasi yang belum mendukung sepenuhnya, seperti rangkaian proses lelang yang panjang dan lainnya.
Namun, tahun depan (2014) akan ada sejumlah terobosan untuk mengatasi hambatan itu. Targetnya, dalam dua tahun ke depan (2015), pengadaan 6.000 unit bus sedang baru untuk angkutan umum reguler dan 1.800 unit bus transjakarta baru sudah melaju di jalanan melayani masyarakat. Jumlah itu menambah unit eksisting yang masih layak beroperasi.
Bagaimana dengan penanganan banjir?
Kita terus berupaya mengatasinya meski tidak semua langkah ada dalam kewenangan gubernur. Normalisasi 13 sungai besar, misalnya, kewenangannya ada di Kementerian Pekerjaan Umum dan anggarannya juga dari APBN. Jakarta hanya kebagian sungai kecil dan selokan.
Namun, normalisasi itu kini sudah dimulai di empat sungai, Sungai Ciliwung, Pesanggrahan, Angke, dan Sunter. Masalahnya, ada ganjalan nonteknis seperti pembebasan lahan karena di kanan kiri sungai adalah hunian. Bayangkan jika ada 34.000 keluarga di Ciliwung, berapa banyak rumah susun harus disiapkan untuk merumahkan warga kembali. Kita belum siap untuk memindahkan mereka.
Semua persoalan banjir ditumpuk-tumpuk dan sekarang minta untuk diselesaikan semua dalam waktu cepat. Tuntutan itu jelas tidak mungkin. Jadi, banjir Jakarta ini tidak bisa diselesaikan sendiri oleh Jakarta, tetapi harus melibatkan daerah lain. Masalahnya, apakah daerah lain mau anggaran mereka digunakan untuk mengatasi banjir di Provinsi DKI Jakarta?
Ini persoalan besar yang sampai saat ini belum ketemu solusi permanennya. Pemerintah pusat yang seharusnya menjadi driver karena banyak hal di luar kewenangan Pemprov DKI.
Bagaimana dengan kerja sama Bopunjur selama ini?
Tanyakan saja kepada yang punya kewenangan. Menurut saya, jangan sampai (penanganan banjir) hanya rutinitas. Harus fokus apa targetnya setiap tahun. Dari pertemuan dengan Gubernur Banten dan Gubernur Jawa Barat, semua siap bekerja sama dengan DKI. Akan tetapi, sekali lagi, apakah mungkin anggaran provinsi mereka digunakan untuk menyelesaikan masalah Jakarta. Seharusnya ada anggaran khusus dari APBN.
Berarti keputusan tertinggi ada di tangan Presiden?
Kalau saya lihat, iya. Tetapi, kalau yang dibahas hanya hal-hal rutin saja, pasti Jakarta akan tetap banjir. Kalau penanganannya fokus, saya kira, baru Jakarta bisa bebas banjir. Kalau dana hibah hanya Rp 5 miliar-Rp 6 miliar, buat apa.
Harusnya anggaran (penanganan banjir) triliunan. Pengerukan kali yang dilakukan sekarang hanya bisa mengurangi beberapa persen banjir. Termasuk soal kendala pengadaan alat berat untuk pengerukan karena panjangnya prosedur yang harus dilalui. Negara ini terlalu banyak prosedur, tetapi akhirnya tetap saja bisa dilompati.
Kenapa tidak dari dulu dilakukan?
Tidak diajak oleh pusat. Kalau tidak diajak, apa ya saya harus minta-minta? Jadi, DKI memang terkunci di wilayah kecil-kecil saja. Kalau memungkinkan, kami minta tanggung jawab diambil alih oleh DKI.
Seperti proyek tembok laut raksasa (giant sea wall). Saya minta DKI yang mengomando agar bisa mempercepat karena APBD punya kemampuan untuk mendukung proyek itu. Semula tembok itu mau dibangun tahun 2020, tetapi saya minta tahun 2014 harus dimulai.
Terkait program perumahan, seperti apa dalam setahun ini?
Banyak warga yang tinggal di bantaran waduk sudah mulai direlokasi. Waduk kemudian dinormalisasi dan sekitar waduk dijadikan ruang terbuka hijau. Airnya nanti bisa digunakan untuk menambah persediaan air baku Jakarta.