JAKARTA, KOMPAS.com
- Lewat musik, petugas Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta mempromosikan penegakan peraturan daerah. Pekerjaan ini tidak mudah, tapi pantas diperjuangkan.

Budi Item (35), warga Tanah Abang, Jakarta Pusat, keheranan saat beberapa orang berseragam coklat muda satuan polisi pamong praja naik panggung Festival Malam Jakarta di Lapangan Monas, Jakarta Pusat, Selasa (31/12), sekitar pukul 22.00. Tanpa menunggu lama, mereka mengambil beberapa alat musik. Dua vokalis perempuan berbaju senada naik panggung belakangan.

”Sehari-hari kami anggota Satpol PP DKI Jakarta. Erwin, pemain gitar, biasa tugas di Kantor Pol PP DKI Jakarta. Penggebuk drum, Codi, biasa mengatur jalanan Jakarta,” kata Rully, pembawa acara.

”Wee.... Bukannya jaga malah ngeband,” ujar Budi sinis.

Akan tetapi, pandangan sinis Budi dengan cepat berubah. Raungan gitar elektrik meluluhkan hati Budi. Intro lagu ”Tendangan Dari Langit” milik kelompok musik Kotak membuat bibir Budi tersenyum.

”Sebenarnya saya benci satpol PP. Kerjaannya ngegusur. Tapi, malam ini beda,” ujarnya.

Penampilan D’Peper malam itu memang mengejutkan. Berbalut baju seragam nan kaku, gaya dan musik begitu populer dan fleksibel. Selain dari Kotak, lagu ”Kereta Malam” milik Rhoma Irama ikut didendangkan.

Akan tetapi, bintang panggung sesungguhnya bukan hanya personel band. Rully, si pemandu acara, ikut jadi kunci pertunjukan malam itu.

Dalam setiap pengantar lagu baru, ada saja yang dipromosikan. Mulai dari larangan merokok, Jakarta tertib, jauhkan kerusuhan, hingga menyampaikan saran kepada pemerintah.

”D’Peper adalah singkatan dari penegak peraturan daerah. Kami butuh doa dan semangat kalian menegakkan perda. Mau bantu tidak?” katanya.

”Mau,” kata penonton yang mulai terbakar digeber lagu-lagu penuh semangat.

”Oke. Ketika semangat dan doa bersatu, itu jadi oplosan. Mari sambut lagu selanjutnya, ’Oplosan’,” kata Rully mengawali lagu dangdut berbahasa Jawa bertema stop mabuk-mabukan milik Eny Sagita.

Bertanggung jawab

Sebagai kampung raksasa Indonesia, tidak mudah mewujudkan Jakarta yang tertib. Sebanyak 10,1 juta penduduknya berasal dari sejumlah daerah dengan kebiasaan masing-masing.

Dengan kemampuan ekonomi dan kebiasaan berbeda, ada banyak tantangan menuju Jakarta yang lebih baik.

Tidak perlu jauh, potret itu begitu dekat dengan panggung D’Peper malam itu. Taman di depan panggung merana saat malam semakin pekat. Injakan kaki pengunjung membuatnya rata dengan tanah basah.

Tanpa tempat sampah memadai, sampah plastik dan kardus mulai menumpuk tak terangkut. Bau pesing menyeruak saat dua bus toilet Pemprov DKI kehabisan air. Setiap orang yang menggunakan toilet harus menutup hidung rapat-rapat. Empat WC dalam bus semuanya mengeluarkan bau tak sedap.

”Airnya enggak ada. Sudah habis dari sore tadi. Makanya baunya ke mana-mana. Tapi, karena enggak ada pilihan, mereka terpaksa antre,” kata salah seorang penjaga bus menunjukkan antrean mengular di sisi toilet.

Hendri Zainal (45), warga Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, mengatakan, Pemprov DKI seharusnya tidak sekadar mengajak warga hidup tertib. Minimnya sarana dan prasarana harus jadi perhatian.

Ia mencontohkan sulitnya mencari tempat sampah di area Tugu Monas. Tidak heran, kantong plastik, kardus bekas, hingga bekas kembang api bertebaran tak terurus.

”Menyuruh orang juga sebaiknya bertanggung jawab,” katanya. (Cornelius Helmy)