Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengakui, relokasi warga bantaran sungai ke rumah susun (rusun) bukan perkara mudah. Namun, bukan berarti tidak bisa. Relokasi ke rusun adalah pilihan solusi paling tepat. Karena itu, warga pun harus belajar beradaptasi demi kehidupan yang lebih baik.

Ia mengatakan, memindahkan warga bukan hal yang sederhana. Namun, ia kukuh pada dasar pemikiran bahwa relokasi adalah pemindahan ke tempat lebih baik.

”Ini soal persepsi. Kalau tidak ingin kebanjiran, ya, pindah. Secara sosial, manusia pasti suka rumahnya. Namun, masalahnya, apakah tetap dibiarkan banjir?” kata Basuki, Selasa (4/2/2014), di Jakarta.

Ia mengakui, membiasakan diri hidup di rusun bagi warga bantaran sungai perlu waktu. Warga yang mengikuti program relokasi harus berani melakukan perubahan demi sesuatu yang 
baik.

Menurut Basuki, di rusun bermodel hunian vertikal kelak, warga belajar berbagi, sesuatu yang sebelumnya tidak mereka pikirkan dan lakukan.

Basuki menyebutkan, kalau perlu, rusun bisa dibuat hingga 26 lantai karena akan menampung banyak orang. Selain itu, juga bisa lebih murah karena membangun 5 lantai atau 26 lantai, luas tanah yang dibutuhkan sama, bahkan semua rusun bisa dilengkapi dengan lift.

Solusi alternatif

Koordinator Ciliwung Merdeka Sandyawan Sumardi berharap ada solusi permanen atas persoalan warga di bantaran sungai.

Menurut dia, jika pemerintah hendak merelokasi warga bantaran sungai, sebaiknya diberikan rumah susun sederhana milik (rusunami). Dengan sistem yang dirancang baik, ia yakin warga dapat mengelola rusun tersebut dengan baik.

Dibantu beberapa pakar, Ciliwung Merdeka sebenarnya telah memiliki konsep rumah susun permanen dan ramah lingkungan. Konsep itu mengadopsi model rumah panggung dan menghadap sungai.

Dalam gambar konsep yang dirancang oleh komunitas Ciliwung Merdeka, rumah susun itu berjarak lebih kurang 25 meter dari garis tengah kali. Di depan rumah susun yang menghadap sungai itu terdapat jalan kampung selebar 2 meter, parit, jalur hijau, jalan inspeksi sekaligus 
sempadan sungai selebar 4 meter, tanggul, bantaran, dan palung sungai.

Konstruksi panggung di bagian dasar rumah susun itu digunakan sebagai area publik, khususnya pasar. Dosen Teknik Arsitektur Universitas Indonesia, Harlina, mengatakan, di Hongkong, konsep itu telah diterapkan. Bedanya, area di lantai dasar digunakan sebagai area hijau atau taman.

Menurut Sandyawan Sumardi, konsep tersebut pernah ditawarkan oleh warga Bukit Duri kepada Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Sayang, hingga kini belum mendapat perhatian.

Sebelumnya, peneliti senior Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Institut Pertanian Bogor, Ernan Rustiadi, mengingatkan bahwa semua usulan terkait dengan relokasi warga bantaran harus dipikirkan secara matang.

”Relokasi warga berarti membawa perubahan pada budaya masyarakat yang akan dipindahkan. Soal tinggal di rumah panggung, setahu saya tak ada budaya itu di Jawa, termasuk di Jakarta. Jadi, mungkin realisasinya nanti bisa lebih sulit,” katanya.

Karena terkait perubahan budaya yang berdampak langsung terhadap kelangsungan hidup warga yang dipindahkan, Ernan meminta ada pendampingan khusus bagi kelompok-kelompok warga yang akan direlokasi.

Kembali terendam

Harapan pemerintah memang tidak selamanya berjalan mulus. Percikan persoalan masih saja terjadi di lapangan. Sejumlah warga peserta program relokasi dari Waduk Pluit ke Rusun Marunda, awal 2013, menghadapi kesulitan hidup. Mereka juga mengeluhkan fasilitas transportasi darat dari Marunda ke Muara Baru dan sebaliknya. Bus tak lagi beroperasi. Adapun kapal laut tidak beroperasi karena terganggu cuaca buruk tiga pekan terakhir.

Meski kembali terendam banjir, warga RT 006 dan RT 007 RW 012 Kelurahan Bukit Duri masih belum sepenuhnya sepakat untuk direlokasi. Agus (33), warga Bukit Duri, mengatakan, hingga kini tempat relokasi belum jelas.

Warga, menurut dia, enggan jika dipindah terlalu jauh dari kawasan Pasar Jatinegara. Warga juga meminta jika dipindah ke rumah rusun tidak lagi menyewa, tetapi memilikinya dengan cara mengangsur.

Kawasan Bukit Duri dan Kampung Pulo, Selasa siang, kembali terendam air. Banjir kali ini, menurut warga, merupakan banjir terlama yang mereka alami. Kurang dari satu bulan, mereka tujuh kali terendam air.

Warga Bukit Duri memilih tetap bertahan di rumah masing-masing. Hawa dingin dan lembab tidak mereka khawatirkan karena telah terbiasa.

Sementara itu, warga Kampung Pulo, Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur, memilih mengungsi. Mereka mendirikan tenda di salah satu sisi ruas Jalan Jatinegara Barat. (JOS/PRA/MKN/NEL/NDY)