Sambil menutup mukanya dengan potongan kardus, kedua orang tersebut digelandang polisi untuk berdiri menghadap kaca bagian depan Polsek Jatinegara.
Diiringi rintik hujan, Kapolsek Jatinegara Komisaris Dasril mengungkapkan, kedua orang tersebut adalah sepasang suami istri, ST (46) dan R (35), terduga pelaku pembakaran bayi yang terjadi di Jatinegara.
Dari keterangan yang diperoleh, keduanya adalah orangtua dari bayi yang dibakar tersebut. Keduanya melakukan hal tersebut dengan alasan ekonomi.
Dasril mengungkapkan bahwa sang ibu, R, meninggalkan bayi yang dilahirkannya pada Jumat (28/2/2015) dalam kodisi sudah tidak bernyawa di tempat sampah.
Setelah itu, ia pergi untuk menyusul suaminya ke Pasar Kramat Jati. Keduanya kembali ke tempat tumpukan sampah pada pukul 19.00 WIB, Minggu (1/3/2015), tepat dua hari setelah peristiwa tersebut.
Kedua pasangan itu hendak istirahat di dekat tumpukan sampah karena pasangan ini tidak memiliki tempat menetap. ST mendekati tumpukan sampah sambil memegang korek untuk menyalakan api.
Hal ini biasa dilakukannya untuk membuat asap agar terhindar dari nyamuk. Dari penuturan yang didapat polisi dari pelaku, bayi tersebut sudah tidak ada di tumpukan sampah.
"Dia maksudnya bakar sampah supaya tidak ada nyamuk. Ketika itu, bayi yang diletakkan dalam kardus sudah tidak terlihat di tumpukan sampah. Jadi, dia bakar saja sampah yang ada di situ," kata Dasril, Rabu (4/3/2015).
Naas, bayi tersebut masih ada dan tertimbun oleh sampah. Bayi tersebut pun ikut terbakar. Bayi itu kemudian ditemukan oleh seorang bocah, Zidan (14), sepulang dari bermain.
Zidan mencium bau tak sedap dan melaporkan kepada petugas keamanan di salah satu pabrik dekat tempat kejadian.
Setelah dicek, ternyata ada bayi manusia yang terbakar.
Motif ekonomi
Dari pengakuan terduga pelaku, Dasril mengungkapkan, R meninggalkan bayi tersebut karena dia tidak memiliki uang untuk menguburnya. "Pada saat istrinya melahirkan, kondisi bayi dalam keadaan meninggal dunia. Dengan alasan tidak punya uang, bayi itu kemudian dimasukkan ke dalam kardus dan diletakkan di tempat sampah," kata Dasril.
Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri, menilai, motif ini masih perlu diperdalam lagi. Sebab, jika kondisi bayi tersebut sudah meninggal dunia, tidak ada pidana yang dapat dikenakan kepada kedua terduga pelaku.
Meski begitu, Reza menilai, tindakan tersebut tidaklah pantas terjadi. "Kalau bayi tersebut masih dalam keadaan hidup, maka bisa dikenakan Undang-Undang Perlindungan Anak atau undang-undang lain yang berkaitan dengan kasus tersebut. Hanya saja, jika bayi tersebut terlahir dalam keadaan meninggal, maka sulit untuk menuntut kedua terduga pelaku," kata Reza saat dihubungi Kompas.com, Kamis (5/3/2015).
Jika kedua terduga pelaku terbukti secara sadar melakukan kejahatan tersebut dalam kondisi bayi yang masih hidup, keduanya bisa dijerat Undang-Undang tentang Perlindungan Anak atau Pasal 341 atau 343 KUHP mengenai pembunuhan terhadap anak dengan ancaman hukuman selama tujuh tahun.
Reza juga memperhitungkan kondisi keterbelakangan mental yang dimiliki oleh kedua terduga pelaku. Menurut dia, kondisi tersebut perlu diperhitungkan secara jelas.
Sebab, menurut Reza jika pelaku memiliki kondisi kejiwaan yang terganggu, ancaman hukuman terhadap kedua pelaku pun akan gugur dengan sendirinya.
Reza menyebut kejadian tersebut sebagai gangguan mental saat aksi kejahatan (mental disorder at omission of crime). Polisi sendiri masih mendalami kondisi kejiwaan yang dialami oleh kedua pelaku.
Seperti diberitakan sebelumnya, menurut kakak pelaku pembakaran, adiknya, ST (46), memiliki keterbelakangan mental. Purwanto (50), sang kakak, menceritakan, ST baru bisa membaca saat umur 12 tahun dan tidak lulus sekolah dasar.
Pesan untuk pemerintah
Kejadian yang cukup memilukan ini, kata Reza, memiliki pesan tersendiri bagi pemerintah. Sebab, jika keduanya terbukti memiliki gangguan kondisi kejiwaan, hal itu sangat fatal bagi pemerintah yang membiarkannya.
Kondisi tersebut tidak lah terlepas dari faktor ekonomi yang menjadi catatan penting. "Justru saya mengirim pesan bagi pemerintah. Katanya fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara, tetapi kok hal semacam ini masih saja terjadi," ucap Reza.
Maksud Reza merujuk pada Pasal 34 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Reza juga mengkritisi aplikasi jaminan kesehatan dan kehidupan layak yang tidak menyentuh ke semua pihak.
Sebab, lanjutnya, kegagalan terhadap aplikasi kebijakan tersebut dapat menimbulkan ekses terhadap kasus-kasus serupa, yakni kegagalan masyarakat miskin yang dapat memenuhi kebutuhan hidup dan memilih untuk menggelandang. "Hal itu semacam retorika pemerintah saja," kata Reza.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.