Ia berbelanja ke kawasan Blustru hampir setiap hari. Ia berangkat dari kantornya di Bekasi naik kereta komuter. Dari Stasiun Jakarta Kota, ia tinggal naik angkot sekali, lalu berjalan kaki ke Blustru. Jika belanjaan sedikit, ia akan pulang naik kereta komuter lagi. Namun, jika belanjaan banyak, ia harus menyewa mobil pikap dengan biaya Rp 3,5 juta-Rp 4,5 juta.
Karim (35), sopir bajaj, menuturkan, ia sering mengantarkan belanjaan sampai ke Kelapa Gading, Jakarta Utara dan Kalideres, Jakarta Barat. Ongkos untuk mengantarkan barang ke dua lokasi itu Rp 80.000 hingga Rp 100.000.
"Paling tidak, sehari kami bisa bolak-balik dua kali mengantarkan barang belanjaan pembeli dari Glodok," ujar Karim, yang sudah puluhan tahun mangkal di Glodok itu.
Pembeli lain, Maulana (45), tampak baru membeli sejumlah pisau keramik, mata bor, dan beberapa kardus mur-baut. "Saya sering ikut membangun rumah. Sepekan sekali saya ke sini. Sekali belanja saya menghabiskan sekitar Rp 10 juta," tutur Maulana.
Margono (54), pembeli yang sehari-hari bekerja di bengkel pembuatan pintu gulung (rolling door) di Kembangan Utara, Jakarta Barat, tampak sedang menenteng beberapa mur dengan panjang hampir 2 meter, serta beberapa dus baut dan beberapa perkakas lain. Seperti Maulana, sepekan sekali ia berbelanja dan menghabiskan sekitar Rp 10 juta.
Zaman Ali Sadikin
Kawasan Jalan Blustru sampai Mangga Besar 1 sebenarnya masih bagian dari kawasan perdagangan Glodok. Menurut pemilik satu toko bermacam selang, Komala (70), kawasan ini mulai dibangun tahun 1970-an di era pemerintahan Gubernur DKI Ali Sadikin. "Sebelumnya, di kawasan ini cuma ada asrama polisi dan beberapa toko kecil saja," ucap Komala.
Glodok mulai berkembang pasca peristiwa pembantaian warga Tionghoa 9-11 Oktober 1740 di era Gubernur Jenderal VOC Adrian Valkenier (1737-1741). Setelah genosida tersebut, Pemerintah Hindia Belanda di bawah Gubernur Jenderal Van Imhoff (1743-1750) melarang orang-orang Tionghoa tinggal di dalam tembok kota (Batavia 1740. Menyisir Jejak Betawi, GPU, Jakarta 2010). Mereka kemudian pindah ke Glodok dan lekas menjadi kawasan pecinan terbesar, seperti dikatakan sejarawan Jakarta, Mona Lohanda.
Akhir tahun 1980-an, omzet toko Komala dan suaminya, surut setelah banyak toko serupa menjamur. "Selain itu, dulu masih banyak pabrik di Jakarta. Kebutuhan akan selang masih sangat tinggi. Dulu, setiap hari kami bisa menjual selang sampai sepanjang ratusan meter lebih setiap hari, tetapi sekarang cuma 30 meter per hari," ujar Komala.
Berbeda dengan Maxi. Bisnisnya dan kawan-kawannya berjaya tahun 2008-2009. "Tahun 2008 terjadi krisis ekonomi di Eropa dan Amerika. Harga mesin las dan bahan baku besi impor turun. Kami yang menangguk untung," ungkapnya.
Bisnis mereka melesu tahun 2014-2015. "Tahun 2014, kan, pemilihan presiden memanas. Kami tak berani membeli banyak persediaan. Takut rusuh. Tahun 2015, nilai dollar AS terhadap rupiah naik menyebabkan angka kredit macet para pengecer membengkak. Kami para grosir terpukul lagi," tutur Maxi. (WINDORO ADI DAN DIAN DEWI PURNAMASARI)
GLODOK BLUSTRU
LOKASI:
Jalan Blustru, Mangga Besar, Taman Sari, Jakarta Barat, DKI Jakarta
JENIS DAGANGAN:
Pusat perbelanjaan barang-barang elektronik dan alat-alat teknik
PUSAT PERDAGANGAN SEKITAR GLODOK BLUSTRU:
Lindeteves Trade Centre
Kompleks Pertokoan Glodok Metro
Kompleks Pertokoan HWI (Hayam Wuruk Indah) Lindeteves
Kompleks Pertokoan Glodok Makmur
Plasa Orion
Harco Glodok
Kompleks Glodok Plasa
Kompleks Pertokoan Glodok Jaya
Plaza Pinangsia
_______________
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Mei 2015, di halaman 27 dengan judul "Sentra Perkakas Teknik dan Pertukangan".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.