Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemulung di Bantargebang, Sehari 5 Kali Mendaki Bukit Sampah

Kompas.com - 06/11/2015, 14:54 WIB
Robertus Belarminus

Penulis

BEKASI, KOMPAS.com - Sebentar saja berada di dekat sampah, orang mungkin tak akan tahan baunya.

Namun Man (50) sudah lebih dari 20 tahun tinggal di tempat pembuangan sampah terbesar, Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat.

Nasib mengantar pria asal Jawa Barat itu untuk menyambung hidup sebagai pemungut sampah di Bantargebang.

Bersama istrinya, ER (45), Man membesarkan empat orang anak dan cucu hidup di sebuah gubuk di sekitar tumpukan sampah TPST Bantargebang. Ia menyewa gubuk itu Rp 100.000 per bulan.

Boleh dikata, Man berteman dengan sampah selama hampir separuh hidupnya. Ia mengaku memungut sampah di Bantargebang sejak tahun 1990-an.

Hari-hari ia lalui dengan keranjang anyaman kayu di punggung, besi pengait, sarung tangan dan sepatu boots, untuk mendaki bukit.

Bukan bukit alam yang ia daki, melainkan tumpukan sampah warga DKI Jakarta.

Beberapa kali dalam sehari, ia mendaki bukit sampah yang kini rata-rata tingginya hampir mencapai 100 meter.

Di dalam Bantargebang, pemandangan bukit atau gunungan sampah adalah hal lumrah, selain perkantoran, tempat pengolahan limbah, rumah pembangkit, truk sampah, dan lainnya.

Bukit sampah

Kompas.com/Robertus Belarminus Pemandangan gunungan sampah di TPST Bantar Gebang, Bekasi. Jumat (6/11/2015).
Jumlah bukit sampah yang telah menjulang tinggi pun mungkin lebih dari lima. Bukit sampah ini semakin meninggi terus karena sampah yang datang masuk tanpa henti.

"Kalau dulu masih rendah enggak setinggi ini. Coba aja kalau situ naik boleh-balik ini, mungkin sudah capek," kata Man, saat berbincang dengan Kompas.com, di dalam Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, Jumat (6/11/2015).

Dari pagi hingga siang, Man sanggup tiga kali bolak-balik mendaki untuk memungut sampah.

Separuh hari dia habiskan untuk memulung kemasan plastik dan kaleng bekas minuman.

Sampah lain yang punya nilai jual dipulungnya juga.

Menjelang tengah hari, ia pulang. Bukan untuk beristirahat, tetapi untuk memilah sampah yang baru dipulungnya.

Memakai topi lebar dari anyaman, Man berteduh di bawah payung yang diikatkan pada pasak. Ia memisahkan botol plastik dan kaleng hasil memulung hari ini.

Mungkin tidak ada lagi kata "jorok" dalam kamusnya. Ia tak terusik meskipun ribuan lalat mengerubuti tubuhnya bertelanjang dada.

"Kalau orang gedean udah terhina kalau mungut nyari begini, bau lagi. Kalau kita mau bilang apa, orang hidup juga dari beginian," ujar Man, sambil memilah di depan gubuknya.

Dua dari empat anak Man, ikut berkecimpung dengannya di bidang yang sama. Sementara satu lagi masih bersekolah.

Man hanya satu, dari ratusan pemulung yang hidup dan membangun gubuk di dalam Bantargebang.

Seperti para pemulung lainnya di Bantargebang, ia membangun sendiri gubuk semipermanen dari bahan sisa sampah.

Tempat tinggal Man jauh dari layak jika menilik dari sisi kesehatan.

Gubuk itu berdampingan dengan sampah dan selokan yang dialiri air limbah dari bukit sampah.

Jangankan asuransi kesehatan, jaminan kesehatan misalnya dari pemerintah pun Man mengaku tak punya.

Man pun harus berbagi tinggal dengan empat anggota keluarga di dalam rumah sekitar 4x6 meter yang sempit itu. Namun Man tak punya pilihan lain.

"Boro-boro ada kamar tidur. Langsung aja geletak di dalam," jawab istri Man, ER sambil menggantung pakaian di tali jemuran depan gubuk.

Mulai lelah

Usai memilah sampah, Man menyempatkan diri beristirahat dan makan siang. Tengah hari, ia kembali mendaki bukit.

Man biasanya menargetkan selepas tengah hari untuk mencari mainan anak atau benda lain selain plastik dan botol.

Kali ini ia biasanya dua kali naik turun bukit sampah. Syukur-syukur kalau ketemu barang berharga yang ikut terbuang.

"Tadi saya dapat handphone cuma sudah mati. Pernah juga dapat uang tapi enggak banyak. Paling koin atau ribuan, itu juga jarang. Ada juga dapat emas, tapi emas yang bikin lari," ujar Man, seraya tertawa.

Man mengakui tubuhnya semakin letih untuk memulung. Maklum, selain bukit sampah yang kian menjulang tinggi, pemulung di dalam Bantargebang pun semakin banyak.

Pulungan pun yang punya nilai jual seperti botol plastik dan lain-lain jadi semakin sulit dicari.

"Dulu pertama kali ini buka masih dua orang saya sama teman. Tapi sekarang sudah ratusan orang kali," ujar bapak berkulit cokelat gelap itu.

Namun, ia tetap berusaha agar asap dapur tetap mengepul. Dalam tempo 10 hari, Man akan menukar hasil pulungannya dengan rupiah kepada penadah.

Tak pernah makan enak

Biasanya, ia dapat Rp 200.000-300.000 untuk lebih dari lima belas karung hasil memulung yang dijualnya. Sebulan ia bisa memperoleh Rp 600.000 lebih atau paling tidak di bawah Rp 1.000.000.

Bagi Man uang ini pun kadang tak cukup untuk makan. Padahal ia tulang punggung keluarga.

Istri Man, ER mengaku, jarang keluarga ini makan enak. Saking susahnya, keluarga ini pun mengaku sungkan menawari tamu suguhan, bahkan sekedar air minum.

"Belanja saja kita di warung kecil, paling tahu sama tempe. Kalau makan ayam sama ikan kalau ada rejeki saja. Apalagi beras sekarang mahal," ujar ER.

Air minum pun, lanjut ER, mesti beli air kemasan. Meskipun ia dan para tetangga di gubuk yang bersebelahan memiliki satu sumur galian. Namun, airnya hanya untuk keperluam MCK tidak dapat dikonsumsi.

Kisruh sampah

Bagi Man, sampah adalah harta karunnya. Atau pemulung setempat menyebutnya "bulog". Yang dimaksud tentu bukan Badan Urusan Logistik milik pemerintah.

Namun, bagi orang seperti Man lumbung sampah ini adalah lapak menyambung hidup.

Ketika kisruh sampah antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan pengelola TPST Bantargebang, PT Godang Tua Jaya (PT GTJ), ia dan pemulung lain pun merasakannya.

Dalam kondisi normal, kata Man, mencari sampah yang punya nilai jual saja sudah sulit. Apalagi ketika truk sampah dari Jakarta dihadang sejak awal pekan ini.

"(Bantargebang) ini sudah hampir 20 tahunan lho. Pertanyaan saya kenapa baru sekarang ribut? Orang marah-marah truk enggak boleh lewat. Kenapa dari puluhan tahun truk lewat di jalan yang sama baru sekarang dilarang?. Bukannya kenapa-napa, ini saya cuma bertanya aja," ujar Man dengan nada heran.

Man berharap, keberlangsungan hidup dan mata pencariannya dan pemulung lain tidak terancam.

"Buangan lagi gawat sekarang. Penghasilan jadi kurang gara-gara itu. Kalau kita mau apapun yang terjadi yang penting tetap bisa mungut," ujar Man, berharap.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

[POPULER JABODETABEK] Kapolri Beri Hadiah Casis Bintara yang Dibegal dengan Diterima Jadi Polisi | Kilas Balik Kronologi Pembunuhan Vina Cirebon

[POPULER JABODETABEK] Kapolri Beri Hadiah Casis Bintara yang Dibegal dengan Diterima Jadi Polisi | Kilas Balik Kronologi Pembunuhan Vina Cirebon

Megapolitan
Berkoordinasi dengan Polda Jabar, Polda Metro Jaya Bantu Buru 3 DPO Pembunuh Vina

Berkoordinasi dengan Polda Jabar, Polda Metro Jaya Bantu Buru 3 DPO Pembunuh Vina

Megapolitan
Pria di Kali Sodong Dibunuh 'Debt Collector' Gadungan karena Tolak Serahkan Motor

Pria di Kali Sodong Dibunuh "Debt Collector" Gadungan karena Tolak Serahkan Motor

Megapolitan
KPU DKI Verifikasi Dokumen Dukungan Bacagub Independen Dharma Pongrekun hingga 29 Mei

KPU DKI Verifikasi Dokumen Dukungan Bacagub Independen Dharma Pongrekun hingga 29 Mei

Megapolitan
PPK GBK Ungkap Riwayat Kepemilikan Tanah Tempat Berdirinya Hotel Sultan

PPK GBK Ungkap Riwayat Kepemilikan Tanah Tempat Berdirinya Hotel Sultan

Megapolitan
Perubahan Jadwal KRL, Transjakarta, MRT, dan LRT Saat Pencanangan HUT Ke-497 Jakarta 19 Mei

Perubahan Jadwal KRL, Transjakarta, MRT, dan LRT Saat Pencanangan HUT Ke-497 Jakarta 19 Mei

Megapolitan
Epy Kusnandar Isap Ganja di Atas Pohon pada Waktu Subuh

Epy Kusnandar Isap Ganja di Atas Pohon pada Waktu Subuh

Megapolitan
'Bullying' Siswi SMP di Bogor Diduga karena Rebutan Cowok

"Bullying" Siswi SMP di Bogor Diduga karena Rebutan Cowok

Megapolitan
KDRT dan Terlibat Kasus Penistaan Agama, Pejabat Kemenhub Dibebastugaskan

KDRT dan Terlibat Kasus Penistaan Agama, Pejabat Kemenhub Dibebastugaskan

Megapolitan
Mayat di Kali Sodong Ternyata Korban Perampokan dan Pembunuhan, Polisi Tangkap Pelakunya

Mayat di Kali Sodong Ternyata Korban Perampokan dan Pembunuhan, Polisi Tangkap Pelakunya

Megapolitan
Ini Rekayasa Lalu Lintas di Bundaran HI Saat Pencanangan HUT Ke-497 Jakarta pada 19 Mei

Ini Rekayasa Lalu Lintas di Bundaran HI Saat Pencanangan HUT Ke-497 Jakarta pada 19 Mei

Megapolitan
Epy Kusnandar Direhabilitasi sedangkan Yogi Gamblez Ditahan, Ini Alasan Polisi

Epy Kusnandar Direhabilitasi sedangkan Yogi Gamblez Ditahan, Ini Alasan Polisi

Megapolitan
Sidang Konflik Lahan, Hakim Periksa Langsung Objek Perkara di Hotel Sultan

Sidang Konflik Lahan, Hakim Periksa Langsung Objek Perkara di Hotel Sultan

Megapolitan
Dishub DKI Imbau Pengelola Minimarket Ajukan Izin Perparkiran

Dishub DKI Imbau Pengelola Minimarket Ajukan Izin Perparkiran

Megapolitan
Polres Bogor Buat Aplikasi 'SKCK Goes To School' untuk Cegah Kenakalan Remaja, Apa Isinya?

Polres Bogor Buat Aplikasi "SKCK Goes To School" untuk Cegah Kenakalan Remaja, Apa Isinya?

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com