Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Antara KRL Tokyo dan Jakarta...

Kompas.com - 16/11/2015, 08:51 WIB
Ihsanuddin

Penulis

TOKYO, KOMPAS.com - Sebagai ibukota sekaligus kota metropolitan di negaranya masing-masing, Tokyo dan Jakarta sama-sama memiliki transportasi berupa kereta rel listrik (KRL).

Namun, terdapat berbagai perbedaan cukup signifikan yang membuat KRL di Jakarta masih tertinggal jauh dari KRL di Ibu Kota Negeri Sakura.

Perbedaan ini dirasakan Kompas.com yang terbiasa menggunakan KRL di Jakarta, mencoba sejumlah rute KRL di Tokyo pada pekan lalu.

1. Cepat dan tepat waktu

KRL di Tokyo tidak memiliki jam karet. Pukul sekian dijadwalkan, pukul itu pula kereta akan datang.

Jarak waktu antara datangnya satu KRL dengan KRL lain juga sangat singkat, paling lama hanya 3 menit.

Waktu datangnya kereta juga sangat transparan, ditampilkan di banyak sisi peron.

Misalnya saat Kompas.com hendak menempuh perjalanan dari Stasiun Akatsuka Mitsuke ke Stasiun Shibuya, hanya dibutuhkan waktu dua menit untuk menunggu kereta.

KRL datang tepat pada pukul 20.08 sesuai yang tertera di sebuah layar elektronik yang bisa dilihat jelas oleh para penumpang.

Meski saat itu kondisi stasiun sangat padat karena merupakan jam pulang kantor, jumlah penumpang kereta tidak membludak hingga harus berdesak-desakan.

Penumpang yang tak kebagian tempat duduk masih bisa berdiri dengan nyaman.

Bandingkan dengan kondisi KRL di Jakarta yang tidak memiliki jadwal kedatangan dan keberangkatan yang jelas.

Aplikasi KRL untuk menunjukkan jadwal datangnya kereta juga sering kali tak akurat.

Waktu tunggu antara datangnya satu kereta dengan kereta lain bisa mencapai 15 menit, bahkan bisa lebih jika sedang terjadi gangguan.

Akibatnya, kerap terjadi penumpukan penumpang di stasiun maupun di dalam kereta yang membuat penumpang harus berhimpit-himpitan di kereta.

2. Aman

Keamanan menjadi prioritas utama dalam sistem KRL di Tokyo. Terdapat pembatas setinggi dada orang dewasa antara peron dan rel kereta. Begitu kereta tiba, barulah pintu pembatas terbuka secara otomatis.

Setelah turun dari kereta, penumpang pun bisa langsung keluar stasiun tanpa harus melewati rel di jalur lainnya sehingga sangat kecil potensi penumpang akan tertabrak oleh kereta yang lewat.

Tak perlu banyak petugas keamanan yang selalu siaga mengatur lalu lintas kereta dan penumpang.

Sementara di Jakarta, keamanan di peron hanya menggunakan garis kuning yang di kebanyakan stasiun warnanya sudah pudar dan akhirnya tak diperhatikan oleh penumpang.

Kondisi sebagian besar stasiun juga masih mengharuskan penumpang untuk berjalan melewati jalur rel lain saat akan keluar dan masuk peron.

Petugas pun harus selalu siaga mengatur lalu lintas dan mengingatkan penumpang saat kereta akan masuk.

Di Tokyo, tak ada pula potensi kereta akan bertabrakan dengan kendaraan di jalan raya. Sebab seluruh kereta melalui lintasan di bawah tanah atau di atas fly over.

Sementara di Jakarta, banyak kereta harus melewati jalur sebidang antara rel dan jalan raya yang ditutup palang pintu, sehingga potensi kecelakaan sangat besar.

Kecelakaan terakhir terjadi di Bintaro pada Desember 2013 lalu. Satu rangkaian KRL dan truk Pertamina bertabrakan.

Selain membahayakan keselamatan, kondisi jalur sebidang ini juga kerap menimbulkan kemacetan.

3. Serba elektronik

Nuansa teknologi yang sangat maju sangat terasa saat menjajal KRL di Tokyo. Begitu membeli tiket, penumpang langsung dihadapkan dengan sebuah mesin dengan layar sentuh, bukan lagi loket dengan penjaga seperti di Jakarta.

Terdapat dua pilihan bahasa Jepang dan Inggris. Cukup memilih stasiun tujuan, maka harga akan muncul tergantung jarak yang ditempuh. Masukkan uang Yen sesuai jumlah yang diminta, maka tiket akan keluar.

Jangan khawatir bila tak memiliki uang pas. Mesin ini akan mengembalikan kelebihan uang penumpang. Karcis yang keluar dari mesin bisa digunakan untuk masuk ke dalam peron.

Berbeda dengan Jakarta yang menggunakan tiket berjaminan, karcis tak perlu lagi dikembalikan dan ditukar uang saat turun di stasiun tujuan.

Bagi penduduk setempat yang setiap harinya menggunakan jasa KRL, disediakan pula kartu elektronik yang dapat diisi ulang seperti di Jakarta.

Di dalam peron tersedia banyak layar kecil yang menunjukkan pukul berapa kereta akan tiba.

Di dalam kereta, juga tersedia peta elektronik yang menunjukkan posisi kereta. Penumpang bisa memantau posisi mereka tanpa harus mendengar dari pengeras suara.

4. Terintegrasi

Jalur kereta di Tokyo dikuasai oleh banyak perusahaan yang memiliki rutenya masing-masing. Hal ini berbeda dengan di Jakarta yang di bawah PT KAI Commuter Jabodetabek.

Kendati demikian, KRL di Tokyo dapat terintegrasi dalam suatu sistem yang baik.

Jika biasa melihat peta KRL Jakarta yang sangat simpel terdiri dari 6 jalur berbeda, Anda akan terkaget-kaget saat melihat peta KRL di Tokyo.

Peta KRL Tokyo sangat kompleks. Terdiri dari puluhan jalur dan ratusan stasiun yang saling bersinggungan.

Jalur Yamanote bahkan berbentuk lingkaran sempurna dan dapat terhubung dengan puluhan stasiun lainnya.

Banyaknya jalur dan stasiun ini membuat hampir semua daerah di Tokyo dilewati oleh KRL.

Berbeda dengan di Jakarta, di mana terkadang penumpang harus naik kendaraan lain dari atau ke stasiun, di Tokyo, hampir setiap stasiun bisa ditempuh dengan jalan kaki.

Setiap stasiun juga sudah terintegrasi dengan berbagai toko, restoran bahkan ada yang tersambung dengan hotel bintang lima.

Semakin besar stasiun, maka semakin banyak fasilitas yang terdapat dalam stasiun tersebut.

5. Harga

Jika mau mencari keunggulan KRL Jakarta dibanding Tokyo, maka pada unsur harga inilah Jakarta jauh unggul.

Tarif KRL di Jakarta saat ini hanya Rp 2.000 untuk 25 kilometer pertama. Untuk kilometer lanjutan, penumpang hanya dikenai tambahan Rp 1.000.

Tarif murah KRL Jakarta ini bisa diterapkan, antara lain karena kontrak subsidi public service obligation (PSO) dari pemerintah kepada PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ).

Pada tahun 2015 ini, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan menganggarkan PSO sebesar Rp 858 Miliar untuk tarif KRL.

Selain itu, KRL di Jakarta juga menggunakan gerbong bekas dari Jepang sehingga harganya lebih murah.

Di Tokyo, saat Kompas.com menempuh perjalanan dari Stasiun Shinzuku ke Stasiun Ghinza dengan jarak enam stasiun atau sekitar 7 kilometer, harga yang harus dibayarkan adalah 230 Yen atau Rp 25.000.

Meski harga rata-rata barang dan jasa di Tokyo memang lebih mahal dari Jakarta, perbedaan harga hingga puluhan kali lipat merupakan angka yang siginifikan.

Lalu, apakah perlu kenaikan tarif yang besar untuk membuat KRL Jakarta bersaing dengan di Tokyo?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

[POPULER JABODETABEK] Warga yang 'Numpang' KTP Jakarta Protes NIK-nya Dinonaktifkan | Polisi Sita Senpi dan Alat Seks dari Pria yang Cekoki Remaja hingga Tewas

[POPULER JABODETABEK] Warga yang "Numpang" KTP Jakarta Protes NIK-nya Dinonaktifkan | Polisi Sita Senpi dan Alat Seks dari Pria yang Cekoki Remaja hingga Tewas

Megapolitan
Harga Bawang Merah Melonjak, Pemprov DKI Bakal Gelar Pangan Murah

Harga Bawang Merah Melonjak, Pemprov DKI Bakal Gelar Pangan Murah

Megapolitan
Pemprov DKI Diminta Lindungi Pengusaha Warung Madura Terkait Adanya Permintaan Pembatasan Jam Operasional

Pemprov DKI Diminta Lindungi Pengusaha Warung Madura Terkait Adanya Permintaan Pembatasan Jam Operasional

Megapolitan
Kronologi Brigadir RAT Bunuh Diri Pakai Pistol di Dalam Alphard

Kronologi Brigadir RAT Bunuh Diri Pakai Pistol di Dalam Alphard

Megapolitan
Polisi Pastikan Kasus Dugaan Pemerasan Firli Bahuri Masih Terus Berjalan

Polisi Pastikan Kasus Dugaan Pemerasan Firli Bahuri Masih Terus Berjalan

Megapolitan
Brigadir RAT Diduga Pakai Pistol HS-9 untuk Akhiri Hidupnya di Dalam Mobil

Brigadir RAT Diduga Pakai Pistol HS-9 untuk Akhiri Hidupnya di Dalam Mobil

Megapolitan
Korban: Guling yang Dicuri Maling Peninggalan Almarhum Ayah Saya

Korban: Guling yang Dicuri Maling Peninggalan Almarhum Ayah Saya

Megapolitan
Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Megapolitan
Khawatir Rumahnya Diambil Pemerintah, Banyak Warga Tanah Tinggi Tak Ikut Program 'Bebenah Kampung'

Khawatir Rumahnya Diambil Pemerintah, Banyak Warga Tanah Tinggi Tak Ikut Program "Bebenah Kampung"

Megapolitan
Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Pakai Senpi, Peluru Tembus dari Pelipis Kanan ke Kiri

Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Pakai Senpi, Peluru Tembus dari Pelipis Kanan ke Kiri

Megapolitan
Maling Guling Beraksi di Cinere, Korban: Lucu, Kenapa Enggak Sekalian Kasurnya!

Maling Guling Beraksi di Cinere, Korban: Lucu, Kenapa Enggak Sekalian Kasurnya!

Megapolitan
Kronologi Pengendara Moge Tewas Terlindas Truk Trailer di Plumpang

Kronologi Pengendara Moge Tewas Terlindas Truk Trailer di Plumpang

Megapolitan
Mayat Bayi di Tanah Abang, Diduga Dibuang Ayah Kandungnya

Mayat Bayi di Tanah Abang, Diduga Dibuang Ayah Kandungnya

Megapolitan
2 Pria Rampok Taksi 'Online' di Kembangan untuk Bayar Pinjol

2 Pria Rampok Taksi "Online" di Kembangan untuk Bayar Pinjol

Megapolitan
Heru Budi: Jakarta Bisa Benahi Tata Kota jika Pemerintahan Pindah ke IKN

Heru Budi: Jakarta Bisa Benahi Tata Kota jika Pemerintahan Pindah ke IKN

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com