Hal itu disampaikan ayah Diana, Azahari Jalin (84). Menurut Azahari, sesuai peraturan perundang-undangan, pihak yang diprioritaskan untuk mendapatkan rumah atau tanah milik perseorangan warga negara Belanda yang meninggalkan wilayah adalah pegawai negeri, penghuni, dan orang yang belum punya rumah atau tanah sendiri.
"Jadi, yang berhak bukan BUMN," kata dia saat ditemui di rumahnya, Selasa (12/1/2016).
Dalam kesempatan itu, Azahari kemudian memperlihatkan buku peraturan tersebut.
Peraturan yang ia maksud itu adalah Peraturan Pemerintah Nomor 223 Tahun 1961 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 tentang Penguasaan Benda-benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda.
Di situ disebutkan, semua rumah atau tanah kepunyaan perseorangan warga negara Belanda yang meninggalkan wilayah Republik Indonesia dikuasai oleh pemerintah, dalam hal ini menteri agraria.
Adapun permohonan pengalihan aset milik warga negara Belanda diprioritaskan pada tiga kriteria. Pertama, status pemohon sebagai pegawai negeri. Kedua, status pemohon sebagai penghuni. Ketiga, mereka yang belum punya rumah atau tanah sendiri.
Azahari yang diketahui merupakan pensiunan golongan IV-A di Kementerian Perdagangan ini menilai, dirinya memenuhi semua kriteria itu.
"Saya pensiunan Departemen Perdagangan sekaligus penghuni dan tidak memiliki rumah atau tanah di luar lahan ini," ujar dia.
Rumah yang ditempati keluarga Diana diketahui dibangun oleh seorang Belanda bernama Wiliam Karelmootz pada sekitar tahun 1930. Rumah tersebut ditempati Wiliam sampai dengan sekitar tahun 1946.
Pada tahun tersebut, ia diketahui pulang ke negara asalnya seiring dengan telah berakhirnya masa pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia.
Menurut Diana (47), saat itu William memindahtangankan rumah ke kakeknya, Raden Muhammad Moechsin, melalui perantara Kantor Administrasi Belanda.
"Sama sekali tak ada keterlibatan Asuransi Jiwasraya," kata ibu dua anak ini.
Diana mengakui, sejak tahun 1946, keluarganya tidak memiliki dokumen yang menyatakan hak mereka sebagai pemilik rumah tersebut. Bukti hanya ditandai dengan penguasaan fisik secara turun-temurun.
Namun, ia heran ketika pada sekitar tahun 2007, perwakilan Jiwasraya datang sambil memperlihatkan bahwa mereka memiliki sertifikat hak guna bangunan (HGB) yang berlaku pada 1994-2024.
Menurut Diana, hal itulah yang membuat mereka tidak bisa terima dan terus melawan.
Ia mengakui, sejak 2007 sampai dengan saat ini, Jiwasraya sudah berulang kali meminta agar mereka keluar dari rumah tersebut.
"Sampai akhirnya, mereka melakukan eksekusi minggu lalu," ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.