"Iya, jadi begini, saya ikut bus 02 itu terkait dengan memang saya saat itu belum atau tidak punya kendaraan (pribadi). Saya tidak punya mobil dan saya pengin berangkat pagi," kata Ii kepada Kompas.com, akhir pekan lalu.
Ia juga beralasan menggunakan bus jemputan untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi di Jakarta. Melalui penggunaan bus jemputan, Ii juga berharap ada efisiensi yang diciptakan. Efisiensi itu kemudian dapat dibagi dengan orang lain.
"Saya naik bus jemputan sudah sejak saya staf. Saya masih naik (bus jemputan) sampai tadi (Jumat) pagi dari rumah saya di Kampung Rambutan," kata Ii.
Ia tak membantah telah mendapat tunjangan transportasi dari Pemprov DKI. Sebab, kepala dinas merupakan pejabat eselon II. Tunjangan transportasi itu masuk tabungan.
"Iya, jadi uang transpor saya, saya save kalau ada teman-teman membutuhkan saya. Umpamanya saya pulang sore, ya saya memberikan mereka uang taksi. Karena saya tidak punya save (simpanan) selain dari situ (tunjangan transportasi)," kata Ii.
Pria berkacamata itu mengakui baru membeli kendaraan pribadi beberapa bulan ini. Melalui kebijakan penghapusan operasional bus jemputan, Ii memiliki dua alternatif.
Pertama, membawa kendaraan pribadi atau menyewa bus bersama penumpang di bus nomor 02.
Pernah jadi koordinator
Di sisi lain, Ii tak membantah bahwa ada koordinator penumpang di setiap bus. Bahkan, Ii sendiri sebelumnya pernah menjadi koordinator di bus nomor 02.
Setiap bulannya, penumpang membayar sejumlah uang kas sekitar Rp 50.000. Uang itu dipergunakan untuk santunan kepada sopir dan kernet bus.
"Karena mereka berangkat pagi pulang malam, buat snack mereka juga. Kami ikhlas dan uang itu sebenarnya juga buat cadangan. Misalnya kadang-kadang APBD telat, ada tol mesti bayar tol dan bisa dipakai buat beli bensin, kami ikhlas-ikhlas saja," kata Ii.
Namun, ia membantah ada perundungan (bullying) terhadap para PNS muda di dalam bus jemputan. Di busnya pun tidak ada kursi yang telah ditetapkan pemiliknya.