Sumia (60), salah satu warga bantaran Kali Apuran, sudah puluhan tahun tinggal di lokasi tersebut. Ia datang dari Bogor, Jawa Barat.
Awal merantau ke Jakarta, dia bekerja sebagai buruh cuci-gosok. Ia juga pernah bekerja di sebuah pabrik di Kapuk. Setelah itu, ia menikah dengan pekerja harian lepas yang bertugas membersihkan kali dari sampah.
Ia dan suaminya lalu membuat bedeng sederhana di pinggir kali. Saat itu, kawasan sekeliling bedeng adalah kebun tebu yang lebat. Kini, kawasan itu padat dengan rumah penduduk.
Ia mengenang, dulu air sungai itu masih bisa dipakai mandi dan mencuci. "Dulu, air kami pakai untuk mandi, buang air besar, dan cuci karena airnya masih agak jernih. Setelah banyak pendatang, airnya makin lama makin tercemar," tuturnya.
Di lokasi lain, yakni di bantaran Kanal Banjir Barat di kawasan Angke, Tambora, Jakarta Barat, juga bermunculan permukiman padat penduduk yang dihuni perantau dan pekerja kelas rendah. Mereka rata-rata bekerja sebagai pedagang makanan keliling, buruh pabrik, buruh bangunan, atau membuka usaha warung kecil-kecilan.
Mereka sebagian besar adalah perantau dari Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Mereka memilih rumah atau kontrakan di pinggir kali karena harga yang murah. Harga kontrakan semipermanen di pinggir kali itu Rp 100.000-Rp 400.000 per bulan.
Makin berat
Peneliti antropologi Universitas Indonesia, Haryono, mengatakan, konsistensi pemerintah menertibkan hunian di bantaran kali sangat dibutuhkan. Ketika sekarang pemerintah baru mulai bergerak, beban yang dihadapi pun makin berat karena hampir semua bantaran kali di Jakarta telah dipadati hunian.
Warga yang bermukim di bantaran kali, lanjutnya, adalah warga pendatang yang sebenarnya tak mampu membeli rumah di Jakarta. Umumnya mereka adalah pekerja sektor informal dengan penghasilan terbatas.
Mereka, kata Haryono, memang perlu ditertibkan. Namun, untuk menertibkan mereka, Pemerintah Provinsi DKI harus mengutamakan kemanusiaan. Kebutuhan akses ke pusat-pusat ekonomi sebagai tempat mereka bekerja harus diperhitungkan.
Haryono pun mengingatkan bahwa warga miskin yang bekerja di sektor informal akan senantiasa ada di setiap kota. Sebab, kota juga membutuhkan tenaga kerja informal agar roda ekonomi kota bergerak.
Oleh sebab itu, perlu penataan permukiman di setiap area yang dibuat secara gradasi, dari kompleks mewah, menengah, hingga kampung. Dengan demikian, para penghuninya bisa saling mendukung.
(MADINA NUSRAT/DIAN DEWI PURNAMASARI)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 April 2016, di halaman 27 dengan judul "Di Tepi Kali, demi Bertahan di Jakarta".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.