JAKARTA, KOMPAS.com — Kementerian Kesehatan (Kemenkes) serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) diminta bertanggung jawab atas implikasi beredarnya vaksin palsu. Menurut Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi), dan Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI), kasus vaksin palsu membawa dampak buruk untuk profesi dokter dan rumah sakit Indonesia serta menimbulkan keresahan masyarakat.
"Mendesak Kementerian Kesehatan RI dan BPOM RI untuk bertanggung jawab atas terjadinya implikasi negatif yang terjadi akibat tidak baiknya protokol penanganan vaksin palsu," kata Sekjen Pengurus Besar (PB) IDI, Adib Khumaidi, di kantor PB IDI, Jalan Sam Ratulangi, Jakarta Pusat, Senin (18/7/2016).
Kemenkes dan BPOM juga diminta memulihkan situasi tidak kondusif saat ini dengan membuat protokol penanganan yang baik. Selain itu, kata Adib, pihaknya juga meminta agar Kemenkes dan BPOM menyampaikan kepada publik mengenai solusi bagi anak-anak yang mendapat vaksin palsu.
Adib melanjutkan, Kemenkes juga harus menyatakan bahwa dokter, tenaga kesehatan, atau fasilitas pelayanan kesehatan adalah korban dari oknum pemalsu vaksin. Untuk itu, ia meminta pemerintah tidak membiarkan dokter, tenaga kesehatan, atau fasilitas pelayanan kesehatan untuk menghadapi keluhan masyarakat tanpa adanya jalan keluar atau solusi yang ditetapkan oleh pemerintah.
Hingga saat ini, polisi telah menetapkan 23 tersangka terkait kasus vaksin palsu. Tidak hanya dokter, mereka yang terlibat juga termasuk bidan, pemilik apotek, perawat, distributor, dan produsen vaksin palsu.
Berdasarkan paparan Bareskrim Polri dan Kementerian Kesehatan di Komisi IX DPR, ada 14 rumah sakit, delapan klinik, dan tenaga kesehatan yang menggunakan vaksin palsu. Sebagian besar beroperasi di sekitar Bekasi. Rinciannya, 10 RS di Kabupaten Bekasi dan tiga RS di Kota Bekasi.