JAKARTA, KOMPAS.com – Warga Tanjung Duren Utara, khususnya warga RW 04, merasa keberatan atas pembangunan ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA) di sana.
Sebab, menurut warga, pembangunan RPTRA tersebut telah membongkar sarana publik yang dibangun atas dasar swadaya masyarakat.
“Taman dan bangunan di tempat itu dibangun oleh swadaya masyarakat. Hasil jerih payah kami membangun bertahap selama bertahun-tahun,” ujar Ketua RW 04 Tanjung Duren Utara Suzanto Sumaryono (64), Rabu (18/1/2017).
Menurut Suzanto, lokasi yang dijadikan RPTRA itu dikenal dengan nama Taman Rambutan. Awalnya tempat itu adalah rawa. Ia dan warga menguruk rawa itu pada 1976.
Sepuluh tahun setelahnya, tanah mengeras sehingga bisa digunakan untuk lokasi pembangunan sekretariat RW. Baru pada 2008, warga setempat bersepakat untuk menata taman di lokasi itu.
“Tanahnya luas, yakni 2.400 meter persegi. Kami tata taman, blok air mancur, fasilitas bermain anak, aula untuk pertemuan warga, pos hansip, dan bangunan permanen untuk kegiatan posyandu dan sekolah pendidikan anak usia dini (PAUD),” kata dia.
(Baca juga: Kenangan yang Tersimpan di Balik Pembangunan RPTRA Tanjung Duren Utara)
Material, uang dan tenaga, lanjut dia, hasil gotong-royong warga. Nilainya, kalau diakumulasikan, mencapai ratusan juta rupiah.
Sayangnya, kata Suzanto, Taman Rambutan yang dibanggakan warga itu harus diikhlaskan karena akan dibangun RPTRA.
Warga Tanjung Duren Utara sempat diundang ke kantor kecamatan oleh suku dinas perumahan.
Namun, sampai di sana, warga hanya diberi tahu bahwa lahan itu akan dibangun RPTRA.
Menurut Suzanto, tidak ada diskusi dan negosiasi yang melibatkan warga. Pada 22 Agustus 2016, Suzanto menerima berita acara serah terima lahan.
Saat pengukuran, kata dia, dikatakan bahwa ruang pertemuan yang di dalamnya terdapat PAUD bagi keluarga kurang mampu, ruang PKK, dan posyandu kesehatan balita dan lansia itu tak akan dibongkar.
Namun, kenyataannya, pihak suku dinas perumahan meminta semua bangunan yang ada di lokasi Taman Rambutan harus dibongkar.
“Pedih hati kami membacanya. Terbayang kembali bagaimana gotong-royong waktu itu. Di sini tempat kami berkumpul dan berembuk menyatukan persepsi untuk membangun lingkungan,” ujar dia.
Saat ini, RPTRA sudah rampung dibangun. Perubahan signifikan terlihat di tengah lahan. Tempat yang tadinya aula berubah menjadi lapangan futsal. Sekretariat RW, bangunan permanen untuk posyandu, dan PAUD juga hilang.
Gantinya, ada bangunan dengan bagian tengah mirip pendopo yang belum diketahui fungsinya. Di bagian belakang pun sudah diisi toilet.
“PAUD yang sudah berjalan pun kegiatannya dipindah ke garasi rumah warga untuk sementara. Tak ada tempat lain,” kata Suzanto.
Warga lain yang juga Kepala PAUD, Ainia Devi Rama Sari, menilai bahwa pembangunan RPTRA otomatis menggusur sarana pendidikan bagi keluarga kurang mampu.
“Tinggal menunggu kebijakan Pak RW, mau dilanjutkan atau tidak mengingat lahannya pun sudah tidak ada,” ujar Devi dihubungi Kompas.com, Kamis (19/1/2017).
(Baca juga: Data Pemprov DKI, RPTRA yang Sudah Dibangun Berjumlah 186)
Saat ini, Suzanto sudah minta ke pengelola untuk memberikan izin kegiatan PAUD selama dua jam setiap harinya di lokasi itu. Ia berharap minimal keinginan warga terwujud.
Sejauh ini, ia belum menerima balassan dari Sumarsono. "Sudah dibaca tetapi belum dibalas," ucapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.