Lief Java mengadakan latihan di rumah Abdullah Kusumowijoyo yang terletak di lingkungan Jalan Kepu, Kemayoran. Di sana berkumpul musisi Dumas, Dekar Zahirdin, Memed Soeroso, Poeng Soewarso, Kartolo Yahya, dan Ismail Marzuki dengan sejumlah penyanyi, seperti Miss Roekiah dan Wolly Soetinah.
"Maen pukul"
Akhir tahun 1990-an, kelompok keroncong di Kemayoran mulai berguguran. Kini, kata Yoyo, jumlahnya tinggal 2-3 kelompok. "Itu pun hidupnya bergantung pada pesanan tampil di TVRI atau RRI," ujarnya.
Tidak demikian dengan "maen pukul" di Kemayoran yang masih bertahan karena kedekatannya dengan lingkungan langgar bersejarah milik mualim di sana.
"Mereka antara lain Mualim Sabeni, Soreh, Saidan, Mardoha, Suaeb, dan Nuri," kata Ahmad Suaeb, jawara silat dari Perguruan Sutra Baja yang ditemui Selasa lalu.
Dia mengatakan, maen pukul di Kemayoran bukan hanya bisa dihubungkan dengan Menoren, melainkan juga dengan ondel- ondel dan gambang keromong.
Menurut pria yang akrab dipanggil Dafi ini, tahun 1950-an, pada era Bokir bermain lenong, ada satu kelompok lenong kesohor bernama Lenong Silantur (dari kata suka melantur/ngelantur). Lenong ini mengiringi tarian ondel-ondel. Kemeriahan tontonan ini berawal dari makam Kumpi Nyonye (Leluhur Nyonya) ke lokasi penanggap yang sedang berhajat.
Penari ondel-ondel kala itu harus pandai pencak silat. Meliuk dan melompat ke sana kemari.
Setelah mengadakan doa bersama di makam Kumpi Nyonye, ondel-ondel diarak ke acara yang punya hajat diiringi musik lenong.
Penari ondel-ondel menari dalam kondisi kesurupan (trance). Bisa dibayangkan jika jagoan maen pukul yang kesurupan tiba-tiba menyerang penontonnya. Itulah yang membuat anak-anak takut dekat dengan penari ondel-ondel.
"Kala itu gigi ondel-ondel pria masih bertaring panjang dengan wajah merah lebih gelap. Menyeramkan," kata Dafi, yang sejak 2006 tekun menyisir dan mempelajari sejarah Kemayoran, kampung kelahirannya.
Ia mengaku sudah tidak mengalami masa Lenong Silantur. Meski demikian, makam Kumpi Nyonye sampai sekarang masih dihormati warga sekitar dan pendatang. "Sekarang tinggal tiga makam keramat yang ada. Letak makam keramat tersebut ada di Gang Keramat, Sumur Batu," katanya.
Dafi menduga, setelah era tersebut berakhir, pencak silat di tanah Betawi murni full body contact seperti di perguruan silat yang ia pimpin, Sutra Baja (berdiri tahun 1950).
Menurut Dafi, pada awal ia belajar maen pukul bersama ayahnya, tidak dikenal nama perguruan di Betawi. Yang ada hanya istilah "maen pukul". "Dulu istilahnya, maenan orang Tanah Abang, orang Kwitang, orang Rawabelong, dan seterusnya," kata Dafi.
Ia menduga, sebagai gudangnya jagoan pencak silat di Jakarta Pusat, Kemayoran dulu tidak kalah terkenal dengan Tanah Abang. Dafi lalu bercerita tentang seorang jagoan muda asal Kemayoran yang bisa menikahi anak seorang jagoan dari Tanah Abang.
Saat ini Kecamatan Kemayoran dihuni 252.800 warga dengan tingkat kepadatan penduduk, seperti disampaikan Camat Kemayoran Herry Purnama, 34.895 jiwa per meter persegi.
Dafi mengatakan, warna budaya Betawi di Kemayoran telah memudar. Kini yang menonjol di Kemayoran justru kompleks-kompleks apartemen jangkung.
Meski demikian, Dafi dan Yoyo masih punya harapan, suatu hari nanti, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan memberi ruang kesenian dan tradisi Betawi di apartemen, mal, dan sentra pameran di kawasan tersebut.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Januari 2017, di halaman 28 dengan judul "Keroncong dan "Maen Pukul" di Menoren".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.