Awalnya dia memperhatikan temannya yang bekerja sebagai tukang cukur rambut. Tertarik dengan pekerjaan itu, Bengbeng mencoba untuk memberanikan diri memegang gunting dan clipper. Clipper adalah alat potong rambut dengan tenaga listrik. Ternyata Bengbeng bisa memotong rambut orang dengan bagus. Dia pun terpicu untuk ganti profesi.
Setelah berlatih beberapa minggu, Bengbeng bekerja jadi tukang cukur di Bogor, Jawa Barat selama tiga tahun. Dua minggu belakangan, Bengbeng sudah pindah tempat kerja di Pasar Gondangdia, Jakarta Pusat. Pasar ini letaknya persis sebelah barat Stasiun Kereta Api Gondangdia.
“Saya mau coba merantau ke Jakarta. Kayaknya lebih enak di ibukota,” ujarnya memberi alasan kepindahan ke tempat kerja sekarang.
Memang Bengbeng sadar ilmu yang dulu diperolah di bangku sekolah tidak terpakai dalam pekerjaan sekarang. Namun, demi memperoleh penghasilan yang cukup, dia rela meninggalkan ijazah dan ilmu yang sudah didapat. “Baru ada hubungan dengan otomotif kalau naik angkot,” katanya sembari tertawa.
Penghasilan Bengbeng sekarang jauh di atas pendapatannya sebagai karyawan pabrik. Sekali memotong rambut, Bengbeng menerima Rp. 18.000. Uang itu sebagian diserahan kepada bos yang memiliki tempat kerja. Sementara tips yang diterima dari konsumen, sepenuhnya menjadi milik Bengbeng. “Di sini sistem komisi,” ujar pria yang enggan mengungkapkan jumlahnya.
Pada hari biasa Bengbeng bisa mencukur rata-rata kepala 18 orang. Sabtu dan minggu bisa hampir dua kali lipat. Dari pendapatan ini dia bisa menghidupi diri sendiri dan mengirim sebagian uang kepada orangtuanya. “Untung saya dulu nggak nyogok jadi karyawan pabrik. Kalau saya lakukan nggak bisa enak seperti sekarang. Tetap jadi buruh pabrik”.
Dalam renungannya Bengbeng menyampaikan bahwa kalau mau usaha halal pasti banyak cara yang dapat dilakukan. Tuhan pasti membuka jalan. Tinggal kita mau melakukan atau tidak. “Nyogok itu kan dosa. Kalau saya kasih, orang yang nerima dosa. Saya juga ikut dosa karena buat orang berdosa,” katanya.
Bambang, nama asli Bengbeng, bukanlah pejabat tinggi. Apalagi pimpinan partai politik. Namun, sebagai masyarakat biasa, dia sudah membuktikan untuk melawan budaya korupsi. Dia tidak berteriak-teriak menyampaikan slogan lawan korupsi, apalagi mengiklankan diri lewat media massa. Bagaimana dengan Anda?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.