Seratus satu Pilkada di tahun 2017 telah berlangsung secara aman dan lancar. Masing-masing daerah telah memiliki gambaran siapa kepala daerah yang akan datang, kecuali DKI Jakarta.
Peraturan mengharuskan pemenang DKI Jakarta haruslah meraih suara di atas 50%. Sayangnya, ketiga calon yang berkompetisi tidak ada yang meraih angka tersebut. Pasangan Calon Ahok-Djarot dan Anies-Sandi dinyatakan sebagai pihak yang lolos untuk bertarung di putaran kedua. Pertanyaan selanjutnya, kemana partai pengusung Agus-Silvy akan berlabuh?
Sebelum sampai pada jawaban tersebut, mari kita perhatikan kembali peta koalisi partai politik di 101 pilkada tahun ini.
Jika diperhatikan, seluruh partai politik pernah melakukan koalisi satu sama lain. Memang hierarki penentuan kandidat di masing-masing partai tidak sama, ada yang cukup diputuskan di daerah ada yang harus diputuskan di pusat. Namun peta ini paling tidak dapat memberi gambaran tentang kedekatan partai politik secara keseluruhan dalam melakukan koalisi.
Lalu apa saja yang menarik dari data tersebut? Apakah peta koalisi ini dapat memberi gambaran kemana Partai Demokrat, PPP, PAN dan PKB akan berlabuh di putaran kedua DKI Jakarta? Mana koalisi yang paling memungkinkan terjadi? Mari kita simak satu persatu.
Partisipasi ini menjadi yang paling banyak, mengalahkan PDI Perjuangan selaku partai penguasa yang meloloskan 90 pasangan calon di Pilkada.
Golkar paling banyak melakukan koalisi dengan Partai Nasdem, yakni sebanyak 49% di Pilkada tahun 2017. Ikatan koalisi ini merupakan yang terbanyak dibandingkan koalisi antar partai lainnya. Artinya dari 101 Pilkada, hampir setengahnya Golkar bergabung dengan Nasdem.
Hal ini dapat menunjukkan hubungan yang cukup baik antara kedua partai politik. Jika melihat ke sejarah pembentukan Partai Nasdem yang merupakan pecahan Partai Golkar, tentu ini juga merupakan indikasi adanya rekonsiliasi di tingkat elit kedua partai.
Kedua, PDI Perjuangan meski sering melakukan koalisi dengan berbagai partai namun agak jarang melakukan koalisi dengan Partai Gerindra dan PKS.
Dari 101 Pilkada PDIP hanya 23% berkoalisi dengan PKS dan 25% dengan Gerindra. Ini dapat menunjukkan bahwa sikap oposisi Gerindra dan PKS di tingkat pusat memiliki pengaruh dalam mencegah terjadinya koalisi dengan PDIP. Kompetisi sengit ini tentu akan kembali diperlihatkan dalam putaran kedua Pilkada DKI.
Ketiga, lalu bagaimana dengan prospek partai-partai di atas berkoalisi dengan Partai Demokrat, PPP, PKB dan PAN? Di sini letak menariknya.
PDIP cukup dekat dengan PAN, PKB dan PPP namun agak kurang dengan Partai Demokrat. Sementara itu Gerindra dekat dengan Demokrat, dan PKB namun jauh dengan PPP. PAN sendiri sebenarnya lebih dekat ke PKS dibandingkan dengan Hanura, PKB dan PPP.
Keempat, mengingat gencarnya isu SARA dalam Pilkada DKI tahun 2017 ini, tentu publik juga bertanya bagaimana prospek adanya koalisi partai-partai Islam dalam menghadapi Paslon 2.
Jika melihat kembali pada peta koalisi Pilkada, ternyata di antara partai Islam sendiri tidak selalu melakukan koalisi. PAN dengan PPP hanya berkoalisi di 20% Pilkada, dengan PKB hanya 28%. Sementara itu PKS, PPP dan PKB melakukan koalisi masing-masing sebanyak 29%.
Angka ini jauh lebih sedikit dibandingkan koalisi masing-masing partai berbasis Islam tersebut dengan partai berbasis nasionalis.
Dari beberapa poin di atas, kita dapat menganalisa bahwa terjadinya koalisi partai di Pilkada lebih didasari pada pertimbangan taktis dibandingkan ideologis.
Partai yang sudah menyatakan diri sebagai oposisi cenderung akan bersama-sama, sedangkan partai yang masuk dalam pemerintahan juga cenderung akan bersama.
Partai berbasis Islam akan cenderung berkoalisi dengan partai berbasis nasionalis guna melengkapi kombinasi nasionalis relijius yang lebih diterima luas publik. Begitu juga sebaliknya, partai nasionalis membutuhkan dukungan kalangan relijius untuk memenangkan calonnya.
Menatap putaran kedua Pilkada DKI, dengan melihat peta koalisi tersebut, penulis memprediksikan bahwa peran negosiasi koalisi akan dimainkan oleh Partai Golkar.
Kelihaian Golkar dalam menjalin koalisi telah teruji di Pilkada. Golkar juga telah memiliki ikatan koalisi yang cukup banyak dengan Demokrat (42%) dan PAN (45%) di Pilkada 2017.
Sementara itu, PDIP cenderung akan mengamankan ikatan dengan PAN, PPP dan PKB yang juga telah masuk dalam pemerintahan. PDIP sangat butuh klaim dukungan partai berbasis Islam guna meredam isu SARA. Bisa saja PDIP menggunakan kursi menteri di pemerintahan sebagai daya tawar.
Di kubu yang lain, Gerindra sepertinya akan cenderung mengamankan ikatan dengan PKB. Keduanya telah berkoalisi di 37% Pilkada. Sedangkan PKS sepertinya akan cenderung mengamankan ikatan dengan PAN yang telah berkoalisi di 30% Pilkada.
Baik Gerindra dan PKS juga memiliki ikatan koalisi yang dekat dengan Demokrat, PKS telah berkoalisi di 38% pilkada sedangkan Gerindra 35%.
Penentu utama koalisi tentu akan kembali pada Partai Demokrat. Posisi Demokrat sebagai pemimpin koalisi Agus-Silvy bersama PAN, PKB, dan PPP akan membuat suaranya paling didengar.
Meski cukup dekat dengan Golkar, namun Demokrat cukup jauh dengan PDIP. Hanya 29% koalisi yang dibuat di antara mereka. Ditambah dengan beberapa insiden yang terjadi selama putaran pertama, tentu tidak mudah bagi PDIP untuk meyakinkan Demokrat agar bergabung.
Demokrat bisa saja memilih PKS dan Gerindra yang lebih banyak memiliki ikatan koalisi dengan Demokrat.
Terlepas dari komposisi koalisi yang akan terbentuk di putaran kedua Pilkada DKI Jakarta, penentu utama jatuhnya pilihan publik adalah kedua pasangan calon sendiri.
Partai menawarkan mesin pemenangan, namun sosok yang dipiih tetap kandidat Cagub dan Cawagub, bukan partai politik. Kemampuan Ahok-Djarot dan Anies-Sandi dalam meraih simpati akan kembali diuji publik dalam waktu dua bulan ke depan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.