Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Abdul Chair Dianggap Tak Kredibel Jadi Ahli Pidana di Sidang Ahok

Kompas.com - 28/02/2017, 14:09 WIB
Kahfi Dirga Cahya

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Abdul Chair Ramadhan dianggap tak kredibel menjadi ahli hukum pidana pada sidang dugaan penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang digelar Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Selasa (29/2/2017). Salah seorang pengacara Ahok, Edi Danggur, dalam persidangan memaparkan sejumlah alasan Abdul dinilai tak kredibel.

Alasan pertama terkait penugasan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap Abdul untuk memberikan keterangan sebagai ahli hukum pidana di Direktorat Tindak Pidana Umum, Bareskrim, Mabes Polri.

Alasan kedua karena dalam surat tugas Dewan Pimpinan MUI Abdul mengakui bahwa dia adalah Pengurus Komisi Hukum dan Perundang-undangan (Kumdang) MUI. Ketua MUI Ma'ruf Amin dalam persidangan Selasa (31/1/2017) menerangkan bahwa ada 4 (empat) komisi yang ikut membahas dugaan penodaan agama dan ulama, yaitu Komisi Fatwa, Komisi Hukum dan Perundang-undangan (Kumdag), Komisi Pengkajian dan Komisi Infokom.

"Hasil pembahasan 4 (empat) komisi itulah yang menjadi dasar bagi Dewan Pimpinan MUI menerbitkan Pendapat dan Sikap Keagamaan (PSK) MUI tertanggal 11 Oktober 2016," kata Edi dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.

Alasan ketiga, sebagai pengurus Kumdang MUI, Abdul disebut ikut membahas dan ikut menghasilkan produk pendapat dan sikap keagamaan MUI. Padahal, ahli yang dihadirkan oleh JPU dalam persidangan, selain untuk menilai kekuatan hukum dari produk Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI itu, juga untuk menilai apakah benar Ahok telah melakukan penodaan terhadap agama Islam.

"Tujuannya untuk menemukan kebenaran materiel sehingga hakim pada waktunya nanti dapat memutuskan perkara ini sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan," ujar Edi.

Abdul dan MUI juga dinilai sudah mempunyai praduga bersalah terhadap Ahok. Praduga bersalah itu tampak dalam butir 4 Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI tanggal 11 Oktober 2016 yang menyatakan bahwa kandungan Surat Al-Maidah 51 yang berisi larangan menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin adalah sebuah kebohongan, hukumnya haram dan termasuk penodaan terhadap Al-Quran.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengutip Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI itu pada halaman 4 dan 6 dakwaannya.

"Sikap ahli dan MUI tersebut jelas bertentangan dengan prinsip dan dasar hukum nasional," kata Edi.

Dasar hukum itu yakni 'setiap orang yang dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap'.

Prinsip ini diatur dalam UU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP khususnya Penjelasan Umum KUHAP butir ke 3 huruf c dan Pasal 8 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Bahkan praduga tak bersalah itu menjadi prinsip universal sebagaimana diatur Pasal 14 ayat (2) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik sebagaimana telah diratifikasi dengan UU No.12 Tahun 2015 tentang Pengesahan International Covenant On Civil and Political Rights.

Tak Objektif

Edi menambahkan, kehadiran seorang ahli dalam suatu persidangan adalah untuk menjernihkan persoalan. Namun tujuan tersebut akan sulit tercapai karena Abdul sendiri melalui surat terbuka tanggal 1 Februari 2017 sudah memberikan penilaian bahwa Ahok telah melakukan kebohongan publik dan melakukan politik devide et impera. Bahkan Abdul menyampaikan imbauan yang rasialis agar penasehat hukum non-muslim bertobat.

"Ahli pun menghimbau, biarkan penasehat hukum non-muslim yang melakukan pembelaan terhadap Ir. Basuki Tjahaja Purnama," kata dia.

Dengan adanya praduga bersalah dan sikap ahli yang mengobral kebencian di depan umum  terhadap Ahok, Abdul dianggap tak mungkin bisa menilai secara objektif, independen dan tidak memihak (imparsial) dalam perkara itu. Abdul terbukti telah mempunyai konflik kepentingan dalam perkara yang sedang diperiksa tersebut.

Karena itu, Abdul dinilai tidak mungkin dapat sekaligus menjadi bagian dari solusi dalam perkara itu.

"Kehadiran ahli yang demikian, bukan justru menjadikan semakin terang duduknya soal  dalam suatu perkara, malahan justru menjadi beban bagi seluruh pencari keadilan di ruang persidangan ini," kata Edi.

Hakim, kata dia, perlu memerhatikan larangan menjadi ahli bagi orang yang mempunyai konflik kepentingan. Hal itu sudah menjadi prinsip peradilan yang universal.

Edi mengatakan,  atas berbagai pertimbangan itu Abdul patut diduga tidak bersikap objektif, tidak independen dan bersikap memihak. Karena itu tidak patut untuk didengar keterangannya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Golkar: Elektabilitas Bukan Jadi Indikator Utama untuk Pilih Cagub DKI

Golkar: Elektabilitas Bukan Jadi Indikator Utama untuk Pilih Cagub DKI

Megapolitan
Polisi Periksa 13 Saksi dalam Kasus Anggota Polisi yang Tembak Kepalanya Sendiri

Polisi Periksa 13 Saksi dalam Kasus Anggota Polisi yang Tembak Kepalanya Sendiri

Megapolitan
Nestapa Agus, Tak Dapat Bantuan Pemerintah dan Hanya Andalkan Uang Rp 100.000 untuk Hidup Sebulan

Nestapa Agus, Tak Dapat Bantuan Pemerintah dan Hanya Andalkan Uang Rp 100.000 untuk Hidup Sebulan

Megapolitan
Ogah Bayar Rp 5.000, Preman di Jatinegara Rusak Gerobak Tukang Bubur

Ogah Bayar Rp 5.000, Preman di Jatinegara Rusak Gerobak Tukang Bubur

Megapolitan
Kapolres Jaksel: Brigadir RAT Diduga Bunuh Diri karena Ada Masalah Pribadi

Kapolres Jaksel: Brigadir RAT Diduga Bunuh Diri karena Ada Masalah Pribadi

Megapolitan
Polisi: Mobil Alphard yang Digunakan Brigadir RAT Saat Bunuh Diri Milik Kerabatnya

Polisi: Mobil Alphard yang Digunakan Brigadir RAT Saat Bunuh Diri Milik Kerabatnya

Megapolitan
Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Sabtu 27 April 2024, dan Besok: Siang ini Hujan Ringan

Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Sabtu 27 April 2024, dan Besok: Siang ini Hujan Ringan

Megapolitan
[POPULER JABODETABEK] Warga yang 'Numpang' KTP Jakarta Protes NIK-nya Dinonaktifkan | Polisi Sita Senpi dan Alat Seks dari Pria yang Cekoki Remaja hingga Tewas

[POPULER JABODETABEK] Warga yang "Numpang" KTP Jakarta Protes NIK-nya Dinonaktifkan | Polisi Sita Senpi dan Alat Seks dari Pria yang Cekoki Remaja hingga Tewas

Megapolitan
Harga Bawang Merah Melonjak, Pemprov DKI Bakal Gelar Pangan Murah

Harga Bawang Merah Melonjak, Pemprov DKI Bakal Gelar Pangan Murah

Megapolitan
Pemprov DKI Diminta Lindungi Pengusaha Warung Madura Terkait Adanya Permintaan Pembatasan Jam Operasional

Pemprov DKI Diminta Lindungi Pengusaha Warung Madura Terkait Adanya Permintaan Pembatasan Jam Operasional

Megapolitan
Kronologi Brigadir RAT Bunuh Diri Pakai Pistol di Dalam Alphard

Kronologi Brigadir RAT Bunuh Diri Pakai Pistol di Dalam Alphard

Megapolitan
Polisi Pastikan Kasus Dugaan Pemerasan Firli Bahuri Masih Terus Berjalan

Polisi Pastikan Kasus Dugaan Pemerasan Firli Bahuri Masih Terus Berjalan

Megapolitan
Brigadir RAT Diduga Pakai Pistol HS-9 untuk Akhiri Hidupnya di Dalam Mobil

Brigadir RAT Diduga Pakai Pistol HS-9 untuk Akhiri Hidupnya di Dalam Mobil

Megapolitan
Korban: Guling yang Dicuri Maling Peninggalan Almarhum Ayah Saya

Korban: Guling yang Dicuri Maling Peninggalan Almarhum Ayah Saya

Megapolitan
Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com