JAKARTA, KOMPAS.com - Sejak vonis dua tahun penjara Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Jakarta Utara pada Selasa (9/5/2017) lalu, proses penahanan Ahok menjadi topik baru yang sedang hangat diperbincangkan masyarakat Indonesia maupun luar negeri.
Sebagian pro terhadap proses penahanan gubernur DKI Jakarta non-aktif ini, sebagian lagi kontra dan bahkan menggelar berbagai aksi untuk menuntut pembebasan Ahok.
Perintah penahanan Ahok
Pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda menjelaskan peraturan dalam hukum di Indonesia terkait proses penahanan Ahok tersebut. Menurutnya, perintah menahan seorang terdakwa yang telah divonis bersalah tak dapat serta merta dikaitkan dengan Pasal 21 KUHAP.
"Perintah menahan terdakwa yang di vonis bersalah bukan terkait Pasal 21 KUHAP tapi Pasal 197 ayat 1 huruf k KUHAP," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Jumat (12/5/2017).
Menurut penelusuran Kompas.com, dalam Pasal 21 KUHAP ayat pertama menyebutkan, perintah penahanan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dilakukan dalam hal:
1. adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri;
2. adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan merusak atau menghilangkan barang bukti;
3. adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan mengulangi tindak pidana.
Sedangkan dalam alam Pasal 197 ayat 1 huruf k KUHAP disebutkan, "Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan."
Atas dasar pasal tersebut, Chairul menilai tak ada yang salah dari perintah Ketua Majelis Hakim.
"Perintah menahan itu dalam putusan. Jadi bukan masalah," tandasnya.
Hal yang sama diungkapkan oleh pakar hukum dari Universitas Indonesia, Ganjar Laksmana Bondan. Menurutnya, adalah kewenangan hakim dalam memutuskan akan menahan seorang terdakwa atau tidak setelah membacakan putusan.
"KUHAP mengatur kewenangan penahanan, termasuk oleh hakim melalui putusannya meski belum inkracht van gewijsde. Jadi singkatnya secara hukum tidak ada yang salah dengan perintah melakukan penahanan yang dilakukan oleh hakim melalui putusannya." paparnya melalui keterangan tertulis, Jumat.
Lebih lanjut Ia menjelaslan, dalam KUHAP juga mengatur mengenai jenis-jenis penahanannya. "Di rutan, tahanan rumah, atau tahanan kota," jelasnya.
Penelusuran Kompas.com, ketentuan mengenai penangguhan penahanan itu terdapat dalam pengaturan dalam Pasal 22 ayat 1 KUHAP yang menyebutkan tiga jenis tahanan yaitu tahanan Rumah Tahanan Negara (Rutan), tahanan rumah, dan tahanan kota.
Baca: Masyarakat Diminta Lapang Dada Sikapi Vonis Ahok
Banding dan penangguhan penahanan
Setelah mendengar pembacaan vonis, Ahok diberi kesempatan untuk mengajukan banding. Dalam proses menuju sidang banding, penangguhan penahanan untuk Ahok dapat diupayakan.
"KUHAP juga mengatur prosedur penangguhan penahanan yang dapat diajukan oleh keluarga tersangka/terdakwa dan/atau Kuasa Hukumnya," terang Ganjar Laksmana, Jumat.
Ucapan Ganjar ditambahkan oleh Chairul Huda, dia menjelaskan, mengenai keputusan penangguhan penahanan, sepenuhnya merupakan wewenang majelis hakim banding dengan tenggang masa penahanan tertentu.
"Selanjutnya tergantung majelis hakim banding, mau menangguhkan atau tidak. Tapi perintah menahan majelis hakim PN (Pengadilan Negeri Jakarta Utara) itu (berlaku) selama 30 hari," ungkapnya.
Baca: Vonis Ahok dan Keharuan di Balai Kota
Menurutnya, masa tenggang penahanan tersebut diatur dalam Pasal 26 ayat 1 KUHAP yang menyebutkan bahwa Hakim Pengadilan Negeri yang mengadili perkara sebagaimana dalam Pasal 84, guna kepentingan pemeriksaan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama 30 hari.
"Sebelum 30 hari sejak diputus kemarin hakim banding harus ambil keputusan. Jika belum ada putusan ahok harus dijeluarkan demi hukum," ucapnya.