JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana memperluas larangan sepeda motor melintas hingga ke Jalan Jenderal Sudirman atau Bundaran Senayan.
Saat ini, pelarangan sepeda motor hanya berlaku di Jalan Medan Merdeka Barat hingga Jalan MH Thamrin atau Bundaran Hotel Indonesia (HI). Perluasan larangan kendaraan roda dua itu akan diuji coba mulai 12 September 2017.
Menuai kontra
Perluasan larangan sepeda motor ini menuai kontra dari berbagai pihak. Pengendara dan pengguna sepeda motor akan menggelar unjuk rasa untuk menolak kebijakan tersebut pada 9 September 2017.
Unjuk rasa yang akan digelar di Kawasan Monas itu rencananya melibatkan 5.000-an pengguna sepeda motor.
(Baca juga: Fakta: Pembatasan Sepeda Motor Tidak Adil)
Mereka menolak kebijakan tersebut karena pemerintah dinilai tidak memperbaiki moda transportasi publik.
Waktu tunggu kedatangan (headway) bus transjakarta dinilai masih lama. Pelayanan petugas pun belum memadai. Selain itu, kondisi di dalam bus transjakarta sangat penuh pada saat jam sibuk.
"Larangan ini adalah kebijakan panik dari pemerintah karena tidak sanggup menyediakan transportasi publik yang aman, nyaman, selamat, tepat waktu, dan terjangkau," kata Ketua Road Safety Association (RSA) Ivan Virnanda di Kantor LBH Jakarta, Minggu (3/9/2017).
Mereka juga menolak karena kebijakan tersebut akan berdampak pada mahalnya ongkos yang harus dikeluarkan warga untuk beraktivitas, terutama pengguna sepeda motor.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta turut menentang perluasan larangan sepeda motor ini. Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa mengatakan, beberapa studi menyebut bahwa perluasan larangan sepeda motor di Jakarta tidak dapat mengatasi kemacetan.
(Baca juga: "Alasan Pelarangan Sepeda Motor Hanya Kamuflase" )
Dia menyebut, tidak ada kajian komprehensif mengenai kebijakan itu. Perluasan larangan sepeda motor juga dinilai tidak sesuai nalar.
"Ini kebijakan yang menurut kami di luar nalar. Nalar kami adalah yang menyebabkan macet justru kendaraan yang lebih besar ukurannya," kata Alghiffari.
Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) Azas Tigor Nainggolan juga menentang kebijakan tersebut.
Dia menilai, perluasan larangan sepeda motor sebagai langkah tidak adil yang diambil Pemprov DKI Jakarta.
Menurut Tigor, biang kemacetan di Ibu Kota bukan hanya sepeda motor, melainkan juga mobil pribadi.
Solusi yang diusulkan
Tigor mendorong pemerintah untuk terlebih dahulu menyediakan angkutan publik yang memadai alih-alih membatasi penggunaan sepeda motor di Jakarta.
"Mari sediakan angkutan massal yang baik dulu baru dilakukan kebijakan penggunaan kendaraan bermotor pribadi seperti mobil dan sepeda motor," kata Tigor, Senin (4/9/2017).
(Baca juga: LBH Jakarta: Pelarangan Sepeda Motor, Kebijakan Tak Sesuai Nalar)
Ivan juga menyampaikan hal serupa. Menurut dia, para pengambil kebijakan seharusnya memperbaiki infrastruktur dan pelayanan moda transportasi umum terlebih dahulu sebelum menerapkan kebijakan itu.
Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) Iskandar Abubakar menyampaikan, pemerintah harus menyediakan moda transportasi umum yang murah dan cepat apabila ingin membatasi ruang lintas sepeda motor.
"Kalau memang angkutan bisa murah dan cepat, maka orang dengan sendirinya akan beralih ke angkutan umum. Sekarang, kecepatannya enggak bisa dicapai, murahnya juga enggak bisa dicapai," kata Iskandar, Minggu.
Uji coba tetap dilaksanakan
Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Sigit Wijatmoko memastikan, uji coba perluasan larangan sepeda motor di Jakarta tetap dilaksanakan.
Penolakan dari berbagai pihak tidak akan memengaruhi uji coba tersebut. "Pemerintah tetap akan melakukan uji coba, kalau pun ada yang menolak akan dijadikan sebagai sebuah tantangan dan semangat untuk memberikan layanan terbaik bagi masyarakat," ujar Sigit, Minggu.
Terkait kritik mengenai transportasi publik, ia menyampaikan bahwa Pemprov DKI Jakarta akan menambah jumlah bus transjakarta yang beroperasi di Koridor 1 (Kota-Blok M) dan melakukan sterilisasi jalur khusus transjakarta tersebut sebagai dampak uji coba perluasan larangan sepeda motor.
Alasan perluasan larangan sepeda motor
Sigit mengatakan, alasan utama diperluasnya larangan sepeda motor yakni mengurangi angka kecelakaan kendaraan roda dua tersebut.
"Utamanya adalah mereduksi angka kecelakaan pengguna atau pengendara roda dua. Korban yang meninggal dunia masih tinggi," ujar Sigit.
Namun, Badan Kehormatan Road Safety Association Rio Octaviano menilai alasan tersebut hanya kamuflase.
Sebab, menurut dia, angka kecelakaan yang melibatkan sepeda motor paling tinggi terjadi di Jakarta Utara, sementara pelarangan sepeda motor justru diterapkan di Jakarta Pusat.
"Kecelakaan tertinggi bukan ada di Jakarta Pusat, tapi ada di Jakarta Utara. Jadi kalau misalnya dia (Pemprov DKI) menganggap itu sebagai penanggulangan kecelakaan, menurut kami itu hanya sebagai kamuflase saja," kata Rio, Minggu.
(Baca juga: Larangan Sepeda Motor, Tak Didukung Transportasi Umum Berkualitas)
Menanggapi hal tersebut, Sigit menyampaikan, perluasan larangan sepeda motor dilakukan dengan melanjutkan kebijakan sebelumnya.
Selain itu, Dishub DKI Jakarta mencontoh negara-negara di dunia dalam melakukan penataan lalu lintas.
"Seperti halnya di kota besar dunia, maka pengendalian lalu lintas dilakukan dari pusat kota sehingga diharapkan kebijakan public transport-nya dapat efektif, selain menekan angka kecelakaan lalu lintas," tutur Sigit.
Berdasarkan data yang disampaikan Sigit, jumlah korban meninggal dunia akibat kecelakaan sepeda motor di wilayah hukum Polda Metro Jaya pada 2016 sebanyak 499 orang.
Sementara itu, korban yang mengalami luka berat sebanyak 1.575 orang dan korban yang mengalami luka ringan sebanyak 3.462 orang.
Kecelakaan yang memakan korban meninggal dunia paling banyak terjadi di Jakarta Utara, yakni 142 korban.
Sementara itu, ada enam korban mengalami luka berat dan 455 korban mengalami luka ringan di Jakarta Utara.
Di Jakarta Pusat, jumlah korban meninggal dunia akibat kecelakaan sepeda motor pada 2016 sebanyak 17 orang, 52 korban mengalami luka berat, dan 261 korban mengalami luka ringan.