Kondisi Debora kritis. Dokter dan suster bergantian meresustasinya (CPR). Dokter menyebut Debora masih bernapas, tetapi jantungnya berhenti.
Monitor jantung menunjukkan garis lurus tak berkelok. Henny dan suaminya hanya bisa memegangi tangan anak malang itu. Ia menangis dan meminta Debora bertahan.
"Dek, jangan pergi, tolong kamu bertahan, jangan menyerah," kata Henny. Debora tak kunjung menunjukkan tanda-tanda kehidupan.
Dokter dan suster pun menyerah. Mereka langsung pergi meninggalkan Debora. Suster hanya berkata mereka turut berduka cita.
Henny dan suaminya pun hanya bisa menangisi kepergian Debora sembari melihat satu per satu peralatan dilepas dari tubuh bayi mungil itu.
Henny sempat berbicara kepada suster. Ia menanyakan penyebab anaknya meninggal. Ia hanya mendapat penjelasan bahwa anaknya seharusnya dirawat di ruang PICU.
Tanpa banyak berkata-kata, Rudianto dan Henny mengurus administrasi rumah sakit serta surat kematian.
(Baca juga: Ditolak Rumah Sakit, Bocah Hidrosefalus Meninggal Dunia)
Ia membayar Rp 6 juta lebih atas perawatan di IGD. Ia pun meminta surat kematian yang tak menjelaskan apa pun penyebab kematian Debora.
"Saya bilang, ini saya punya kewajiban saya tetap bayar, saya enggak lari meskipun anak saya sudah meninggal," ujar Henny.
Ia kemudian membawa pulang anaknya dan menguburkan anak kelimanya itu untuk selamanya.
Kisah Henny ini sempat viral di media sosial. Henny mengaku tak mengharapkan apa-apa, selain berharap tak ada Debora-Debora lainnya di luar sana.
"Saya mau marah, mau ngacak-ngacak ancurin rumah sakit itu, tetapi saya masih ada anak-anak saya," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.