Di saat itu terjadi, sayangnya program yang akan dijalankan BUMD dengan PMD itu malah tidak relevan dengan kepentingan masyarakat.
Contohnya pengajuan PMD untuk PT Jakarta Propertindo yang digunakan untuk LRT fase II seperti skema pada fase I.
Baca juga: Dua BUMD DKI Minta Rp 1 Triliun untuk Rusun DP Rp 0
Padahal, kata Sani, skema fase I sudah dikritik Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Selain itu, anggarannya juga lebih dari Rp 1 triliun.
"Kegiatan pembangunan di Jakpro seperti LRT memakan Rp 1,8 triliun sendiri. Kegiatan strategis seperti seharusnya bisa pakai skema pembiayaan lain, misalnya tender investasi. Itu disoroti tajam," kata Sani.
Baca juga: BUMD Mana Lagi yang Dirutnya Akan Diganti?
PMD untuk PAM Jaya juga dipertanyakan karena besaran PMD yang diajukan mencapai Rp 1,2 triliun.
Salah satunya digunakan untuk pembangunan pipa distribusi. Sani mengatakan ini harus dipastikan bahwa pemasangan pipa dilakukan untuk warga berpenghasilan rendah.
Anggota banggar lainnya, Iman Satria menilai PMD Rp 11 triliun itu akan lebih bermanfaat jika dipindahkan ke SKPD lain.
Baca juga: Anggota DPRD DKI Ini Tak Setuju Rapat RW Ada Pendamping dan Uang Transpor
"Masa Rp 11 triliun untuk bisnis, komersil lagi? Itu, kan, ada risiko untung-rugi. Iya kalau untung, bisa berbalik ke PAD (pendapatan asli daerah), kalau rugi? Kalau bersentuhan langsung dengan masyarakat, bangun saja sekolah banyak-banyak. Biar jadi itu enggak ada masalah lagi, lebih mengena," ujar Iman.
Nilai anggaran yang membengkak
Dalam rapat, Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah memaparkan nilai anggaran yang diusulkan KUPA-PPAS 2018.
Nilainya bertambah banyak dari penetapan APBD 2018 sebelumnya.
"Ada kenaikan dari Rp 77,1 triliun, di anggaran perubahan ini akan menjadi Rp 83,2 triliun. Terjadi kenaikan Rp 6,1 triliun," ujar Saefullah.
Baca juga: DPRD DKI Kritik APBD-P 2018 Tak Bersentuhan Langsung dengan Masyarakat
Peningkatan ini karena banyak pengeluaran pembiayaan yang dialokasikan untuk PMD BUMD tadi.
Namun, lagi-lagi ironi.